news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kebijakan Penghapusan UN Dikhawatirkan Dibajak untuk Kepentingan Lain

Konten Media Partner
19 Desember 2019 18:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswa sedang mengerjakan Ujian Nasional. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa sedang mengerjakan Ujian Nasional. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Keberanian Nadiem menghapus UN dinilai layak diacungi jempol mengingat mentri-mentri sebelumnya tak sanggup melakukannya. Entah karena diuntungkan oleh konstelasi politik saat ini atau visinya, Nadiem dinilai terbukti berani membuat keputusan penting dibanding pendahulunya.
ADVERTISEMENT
"Namun, bukan berarti keputusan berani itu tak beresiko dibajak oleh jajaran birokrasinya. Seperti kebijakan sistem zonasi yang baru dengan memberikan porsi hingga 30% untuk syarat prestasi berpotensi mengembalikan kultur ranking sekolah yang sebenarnya ingin dikuburnya," ujar pemerhati pendidikan yang juga pengajar UGM, Muhammad Nur Rizal, Kamis (19/12/2019).
Rizal pun menilai tidak salah jika publik menduga Nadiem terjebak bernegosiasi dengan "kondisi" meski bertentangan dengan visinya sendiri.
Tidak menutup kemungkinan, ujar dia, hal sama akan dialami pada asessment baru pengganti UN yang bisa saja beralih fungsi menjadi alat penekan standarisasi baru atas nama mutu sekolah. Terutama ketika mindset jajarannya enggan bertransformasi memilih "bergerilya" hingga 2021.
"Lagi-lagi guru dan siswa yang jadi tumbalnya," ujar Rizal yang juga pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan itu.
ADVERTISEMENT
Jadi, ujar dia, persoalan pendidikan Indonesia bukan pada kemampuan guru atau siswanya, melainkan cara berpikir dan bekerja birokrasinya.
"Buruknya kualitas sekolah, guru dan anak selama ini adalah dampak dari kebijakan serta implementasi "bodoh" mereka," katanya.
Rizal mengatakan seperti dalam memaknai literasi, masyarakat didorong memgukurnya sebatas kemampuan membaca tulis, banyaknya jumlah bacaan buku atau kemampuan menjawab soal populer.
Padahal literasi itu sejatinya adalah melengkapi siswa dengan kecakapan dasar berpikir kritis yakni menanyakan ulang, mendiskusikan persoalan, mencari alternatif jawaban, merefleksikan serta merevisi atas apa yang sudah diyakininya jika perlu.
Tradisi itu sayangnya tidak berkembang di sekolah Indonesia, justru dijumpai di Finlandia, Jepang atau Australia, negara dengan sistem pendidikan maju tapi memanusiakan atau tak "memaksa" seperti yang dialami ketiga anaknya ketika sekolah di Melbourne selama enam tahun lebih.
ADVERTISEMENT
"Mereka bebas membaca buku fiksi non kurikulum, berkarya mengasah minat bakat, menyelesaikan persoalan nyata melalui olah pikir, olah rasa, olah laku dan olah raga tanpa ancaman nilai atau "puja-puji" semu, menjadi satu kesatuan ekosistem "fundamental" yang berhasil merevisi ideologi saya akan UN," ujarnya.
Jadi, siapa sebenarnya yang perlu dimerdekakan terlebih dulu, gurunya siswanya atau justru birokrasinya sendiri?
Rizal berharap mudah-mudahan program "Merdeka Belajar" yang jadi jargon Mendikbud bukanlah sekedar slogan, tetapi upaya sungguh-sungguh untuk memerdekakan masyarakat dari belenggu sistem yang akut. (atx)