Kisah Ngaisyah dan Oemiyah, 2 Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta

Konten Media Partner
10 November 2020 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
adv
zoom-in-whitePerbesar
adv
Gedung Agung Yogyakarta tempat Oemiyah dan Ngaisyah menurunkan bendera Jepang pada September 1945. Foto: historia.id
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Agung Yogyakarta tempat Oemiyah dan Ngaisyah menurunkan bendera Jepang pada September 1945. Foto: historia.id
ADVERTISEMENT
Pada bulan September 1945, dua perempuan muda naik ke atap Gedung Agung di Yogyakarta. Mereka adalah Ngaisyah dan Oemiyah, yang menurunkan bendera Dai Nipon Jepang dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih sebagai penegasan bahwa Indonesia telah merdeka.
ADVERTISEMENT
Aksi pada September 1945 menjadi puncak dari demonstrasi rakyat yang menuntut penurunan bendera Jepang. Tanpa menghiraukan para serdadu Jepang yang berjaga di luar, Ngasiyah dan Oemiyah naik ke atas Gedung Agung Yogyakarta. Mereka mendapatkan pinjaman tangga dari kawannya yaitu Rusli dan Soemardi, pamong Taman Siswa.
Aksi yang berjalan mulus tersebut tak lepas dari pengaruh Ngaisyah dan Oemiyah yang merupakan pegawai Jawatan Pos Telepon Telegram (PTT). PTT adalah institusi telekomunikasi resmi semasa pendudukan Jepang, sehingga gerak-gerik mereka tak mengundang kecurigaan Jepang.
Oemiyah adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwono VII, yang tumbuh di kalangan priyayi Jawa dan menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Oemiyah yang tak nyaman menjadi seorang perempuan priyayi yang mapan, meninggalkan sekolah dan bekerja di PTT sekaligus menjadi kepala serikat buruh perempuan PTT di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Keahliannya dalam stenografi dan telegraf membuatnya menjadi tulang punggung untuk menyadap berita-berita penting yang dikirim oleh Jepang. Kecekatan Oemiyah sebagai ketua serikat buruh PTT dan penyadap berita Jepang tersebut pun terdengar oleh Soekarno.
Bung Karno kemudian memanggil Oemiyah untuk ikut kursus politik yang diselenggarakan di ruang belakang Gedung Agung Yogyakarta. Setelah kursus tersebut, Oemiyah semakin aktif terlibat dalam gerakan politik sehingga diangkat menjadi Sekretaris Jendral Tan Ling Djie dari Partai Sosialis.
Kecekatannya itu juga menjadikan pula Oemiyah diangkat sebagai stenografer dalam Kabinet Amir Syarifudin. Ia juga bergabung dengan kelompok Pemuda Pathok (PP) bersama Ngaisyah, Rusli dan Soemardi. PP adalah kelompok pemuda bawah tanah yang mayoritasnya berasal dari kelompok Partai Sosialis dan Perguruan Taman Siswa.
ADVERTISEMENT
PP tak hanya aktif di Yogyakarta melainkan di kalangan gerakan perlawanan seluruh Jawa. Keaktifan tersebut membuat PP menjadi pemikir gerakan kiri bawah tanah untuk melawan Jepang, juga terhadap Belanda pada awal perang kemerdekaan.
Bersama dengan Ngaisyah, kedua perempuan tersebut memanfaatkan betul status pegawai dan posisi sebagai ahli stenografi untuk menyadap pesan-pesan rahasia Jepang. Hasil sadapan tersebut pun menjadi bahan PP merancang strategi. Mereka melakukan komunikasi lewat perantaraan para pedagang di Pasar Beringharjo.
Kelompok perjuangan beranggotakan kelas menengah terdidik dari beragam kalangan tersebut muak terhadap fasis yang berkuasa dengan kejam. Kemuakan tersebut menunjukkan komitmen yang luar biasa dari para pejuang itu untuk melawan penjajah. (Gabryella Sianturi).