Komunitas Kretek di Jogja Tanggapi soal Dana Kampanye Anti-Rokok

Konten Media Partner
2 Maret 2021 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kampanye anti-rokok. Foto: Pixabay/Miriams-Fotos
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampanye anti-rokok. Foto: Pixabay/Miriams-Fotos
ADVERTISEMENT
Sejumlah lembaga di dunia termasuk di Indonesia, diketahui mendapatkan kucuran dana dari Bloomberg Initiative, sebuah lembaga pemberi dana hibah untuk kampanyekan gerakan anti-rokok. Lembaga ini didirikan oleh Michael R. Bloomberg, seorang pengusaha dan mantan Wali Kota New York.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, dana Bloomberg Initiative yang diterima oleh berbagai lembaga tersebut digunakan untuk melakukan kampanye yang menyuarakan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Namun, sejumlah pihak menilai kampanye tersebut bukan adalah gerakan yang murni. Bahkan mengakibatkan pembatasan hak para perokok untuk mendapatkan rokok. Tak hanya itu, kampanye ini juga dinilai memberikan dampak negatif pada tenaga kerja yang bergantung pada industri rokok.
Hal ini diungkapkan oleh Komunitas Kretek di Yogyakarta. Juru Bicara Komunitas Kretek, Jibal Windiaz, menjelaskan kampanye yang dijalankan lembaga-lembaga tersebut mendapatkan dana tidak dalam jumlah yang sedikit. Menurutnya, ada dorongan yang bertujuan untuk tekan Industri Hasil Tembakau (IHT) Indonesia.
“Kira-kira seperti itu pola yang didorong oleh mereka,” tegasnya, Senin (1/3/2021).
Kampanye ini kerap diketahui mampu memengaruhi kebijakan pemerintah pada IHT secara agresif. Misalnya, dengan menekan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai, mengganjal dan menghalau promosi tentang rokok, serta mendiskreditkan rokok dan para perokok.
ADVERTISEMENT
“Jadi ini cuma akal-akalan untuk merasionalisasikan kampanye mereka dalam menekan angka perokok, yang katanya demi mengangkat derajat kesehatan masyarakat, padahal hal ini akan berdampak ke hak konsumen. Ini harusnya menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan jika, misalnya, setiap tahun ada isu mengenai kenaikan tarif cukai bahkan yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok (KTR),” tegas Jibal.
Naiknya tarif cukai rokok berdampak pada kelangsubgan usaha IHT, terutama pabrikan kecil. Tarif cukai yang tinggi menyebabkan biaya produksi para pabrikan kecil semakin besar.
“Pabrikan kecil dari tahun ke tahun mereka terpukul banget. Kalau tiap tahun masih begitu kenaikan cukainya, mereka tidak bisa bangkit lagi. Jangan sampai pihak asing menekan pengusaha kecil di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, kampanye anti-rokok yang dilakukan tidak hanya terkait cukai. Menurut Jibal, lembaga penerima dana Bloomberg Initiative juga melakukan kampanye yang memojokkan perokok seperti lewat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang terlalu berlebihan. Padahal, perokok seharusnya mendapatkan kesetaraan hak seperti konsumen pada produk legal lainnya.
ADVERTISEMENT
“Kami sepakat dengan poin-poin KTR. Tapi berdasarkan amanat undang-undang, ruang merokok juga harus disediakan di area-area KTR. Faktanya itu tidak disediakan dan sering kali diabaikan sehingga terjadi friksi di lapangan yang sebetulnya tidak akan terjadi kalau ruangnya disediakan,” tutup Jibal.