Limbah Pangan Berlebih Ancam Terjadinya Krisis Pangan di Tengah Pandemi Corona

Konten Media Partner
16 Oktober 2020 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi limbah pangan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi limbah pangan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi corona tak hanya menyebabkan krisis dalam kesehatan masyarakat, namun juga akan berimbas pada ketahanan pangan. Dalam pencegahannya, masyarakat sudah sepatutnya menghindari limbah pangan berupa food loss dan food waste demi mewujudkan ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Pembatasan sosial dalam negeri selama pandemi corona turut berimbas ke produktivitas pertanian di Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies memprediksi tenaga kerja pertanian berkurang sebanyak 4,87% yang menyebabkan pasokan pertanian domestik berkurang sebesar 6,20%.
Impor sektor pertanian pun diprediksi akan menurun sebesar 17,11%, sementara harga impor pertanian diprediksi akan meningkat sebesar 1,20% pada 2020 dan sebesar 2,42% pada tahun 2022. Dengan berkurangnya pasokan domestik dan impor, kelangkaan pangan dan inflasi harga pangan dimungkinkan akan terjadi.
Organisasi Pangan dan Pertanian, Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan tantangan saat ini terletak pada terganggunya akses masyarakat mengakses pangan. Qu Dongyu, Direktur Jenderal FAO mengatakan bahwa disrupsi tersebut telah menyebabkan peningkatan limbah pangan.
ADVERTISEMENT
Limbah pangan dikategorikan menjadi dua, yaitu food loss yang berasal dari bahan pangan mentah dan food waste yang berasal dari makanan siap santap. Limbah hadir dari sisa makanan rumah tangga, restoran, hotel atau bahan makanan yang tidak bisa dijual dengan alasan standarisasi produk.
Ironisnya, di tengah terancamnya ketahanan pangan, Indonesia telah lama menghadapi masalah limbah pangan. Indonesia merupakan penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
“Kalau kondisinya sekarang di Indonesia, food loss dan food waste itu sama-sama bermasalah. Tapi kalau dari segi persentase, 60% itu kita bermasalah di food loss dan 40% di food waste. Untuk pembagiannya lagi, di food waste itu hampir 60 % dari 40% masalahnya terjadi di balik dapur,” ujar Muhammad Farras Bari Zain, Co-founder DamoGO, saat diwawancara pada Kamis (15/10/2020).
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian pun menemukan lebih dari 60% sampah di Kota Surabaya dan Bogor bersumber dari makanan. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit, rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang 300 kg makanan per tahun.
Farras mengatakan makanan yang terbuang sia-sia pun memberikan dampak sosial yang buruk. Hal tersebut tak selaras antara komoditas pangan yang tersedia dengan angka kelaparan dan kurang gizi yang masih tinggi di Indonesia.
“Dampak sosialnya itu ironi ya, walaupun komoditi dan SDA Indonesia banyak, balita di Indonesia itu sekitar 32-33% mengalami stunting dan malnutrisi. Sedangan pangan kita dari hulu hingga hilir itu bocor di mana-mana,” ujar Farras.
Selain itu, makanan sisa yang terbuang dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Jika limbah tak dikelola dengan baik, timbunannya akan menghasilkan gas berbahaya.
ADVERTISEMENT
“Kemudian dampak secara environmental itu sangat berbahaya. Pangan ketika berakhir di TPA dan mengendap, itu akan mengeluarkan gas metana. Gas ini lebih berbahaya 25 kali dari CO2. Jadi ketika kita banyak buang makanan dari hulu sampai hilir dan makanan itu mengendap, gas metana itu berbahaya dan efeknya ke pamanasan global,” ujar Farras.
Farras juga mengatakan pergerakan penanggulangan food waste dan food loss di Indonesia masih tidak terukur dan tidak terarah. Pada akhirnya gerakan hanya ada pada regional dan sangat terfragmentasi dari datanya.
“Pergerakan penanggulangan food waste dan food lost itu kalau di Indonesia masih tidak terukur dan tidak terarah. Gerakannya hanya ada pada regional dan sangat terfragmentasi dari datanya. Karena hanya bergerak sendiri untuk daerah masing-masing dan memang tidak tahu yang di target itu hulu atau hilir. Jadi di Indonesia sendiri itu diperlukan gerakan yang lebih terintegrasi, yang bisa menyelesaikan masalah pangan dari hulu atau hilir, karena masalahnya memang sangat kompleks dan besar,” ujar Farras.
ADVERTISEMENT
Masalah yang sangat kompleks tersebut pun bisa dimulai dari hal sederhana dalam diri individu masing-masing. Dengan begitu, permasalahan limbah pangan dari hulu hingga hilir bisa terbantu dan Indonesia terhindar dari ancaman krisis pangan.
“Inti utama dan cara yang paling sederhana dalam menanggulangi problem limbah pangan adalah menghabiskan makanan. Karena utamanya diakibatkan oleh konsumsi berlebih, praktiknya misalnya kita beli makanan lebih dari yang bisa kita konsumsi. Jadinya ngga merata bagi orang yang daya belinya tinggi, dan berdampak bagi teman-teman kita yang daya belinya lebih rendah. Mereka menjadi sulit mengakses pangan, karena supplynya ngga ada,” ujar Farras.
Menyikapi ancaman krisis pangan tersebut, kampanye untuk menghindari membuang sisa makanan yang telah lama didengungkan Kementerian Pertanian, turut diserukan oleh Presiden Joko Widodo pada September 2020 lalu. FAO yang mengeluarkan peringatan kepada negara-negara di dunia tentang ancaman kiris pangan karena pandemi COVID-19 pun turut menyarankan pemanfaatan teknologi mutakhir untuk mengoptimalkan sektor pangan. (Gabryella Triwati Sianturi)
ADVERTISEMENT