Nasib Malang Buruh Gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta

Konten Media Partner
20 Mei 2018 13:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nasib Malang Buruh Gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Menjadi buruh gendong, mungkin tak pernah ada yang bercita-cita menekuni profesi ini ketika kecil dulu. Beban berat dipikul di pundak ataupun di punggung selalu menghiasi keseharian buruh gendong yang biasanya banyak terdapat di pasar-pasar tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Namun keadaanlah yang memaksa seseorang menjadi buruh gendong. Seperti yang dialami oleh ratusan ibu-ibu buruh gendong di Pasar Beringharjo. Mereka terpaksa pergi dari pelosok wilayah provinsi ini untuk mengais rezeki dengan menawarkan tenaga mengangkat barang belanjaan para pengunjung pasar ataupun mengangkat barang dagangan pedagang dari sales di tempat parkiran ke lapak pedagang tersebut.
Nasib mereka sungguh miris, mereka hanya mendapat upah Rp 3.000 sekali gendong. Padahal, barang-barang yang mereka gendong biasanya beratnya rata-rata mencapai 50-60 kilogram sekali angkat. Medan yang harus mereka tempuh juga cukup sulit karena tak jarang harus naik turun tangga di lantai tiga.
Seperti dituturkan oleh Juminem (56) ini. Wanita asli Sentolo Kulon Progo ini sudah menjalani profesi sebagai buruh gendong sejak tahun 1986. Ia terpaksa menjadi buruh gendong karena di kampungnya di Sentolo Kulon Progo tak ada lapangan pekerjaan. Untuk bertani, menjadi suatu hal yang tidak mungkin karena kawasan Sentolo termasuk wilayah yang tandus.
ADVERTISEMENT
"Mau bekerja di mana, wong enggak ada lowongan," ujarnya.
Awalnya ia menjadi buruh gendong setelah ikut tetangganya yang sudah menjalani profesi ini sebelumnya untuk mengisi waktu selepas lulus sekolah. Meski awalnya ikut-ikutan, namun akhirnya menjalani profesi ini terus-terusan. Kini, hampir setiap hari puluhan hingga ratusan Wanita asal Sentolo Kulon Progo yang memiliki profesi sama dengan dirinya.
Setiap pagi, ketika pukul 06.00 WIB ia sudah harus menunggu di pinggir jalan menanti sebuah bus Kopaja yang akan menjemput dan mengantarkannya kembali bekerja menjadi buruh gendong. Puluhan buruh gendong memang telah menjalin kesepakatan dengan pengusaha bus Kopata untuk menjemput mereka di titik tertentu di pagi hari dan mengantar mereka di titik penjemputan di sore hari.
ADVERTISEMENT
"Busnya juga sudah langganan puluhan tahun," tuturnya.
Para buruh Gendong ini memang memiliki bus langganan yang ongkosnya jauh terjangkau. Meski perjalanan cukup jauh mencapai puluhan kilometer dan membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 jam perjalanan, namun setiap buruh gendong hanya dikenai taruf Rp 14.000 pulang pergi.
Namun ketika mereka menggunakan angkutan umum lainnya, para buruh gendong harus merogoh kocek Rp 30.000 sekali jalan. Jumlah tersebut tentu tak akan terjangkau dengan upah menjadi buruh gendong. Dengan menggunakan bus langganan, mereka bisa mendapatkan sisa penghasilan Rp 30.000 hingga Rp 40.000 perhari.
Hampir sama dengan Juminem, Isah, 44. Warga Sentolo ini juga menjadi buruh gendong karena dipaksa oleh keadaan. Namun ia tidak memulai aktifitas pukul 06.00 pagi, tetapi ia berangkat jam 08.00 pagi. Ia berangkat agak siang karena harus mengurus anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah terlebih dahulu. (erl)
ADVERTISEMENT