news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perjuangan Bondan Koharali untuk Sekolah: Jualan Bunga hingga Cabai

Konten Media Partner
19 April 2018 18:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perjuangan Bondan Koharali untuk Sekolah: Jualan Bunga hingga Cabai
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kamis (19/4/2018), Bondan Koharali, 19, siswa kelas 2 SMA Muhammadiyah Wonosari terlihat berjalan ke luar ruangan kelas tempatnya menimba ilmu sehari-hari. Bondan adalah siswa terakhir yang meninggalkan kelasnya. Di punggungnya, tampak tas gendong warna cokelat lusuh menggelayut membebani tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Tubuhnya yang lebih kecil dibanding teman-teman sekelasnya terlihat sedikit membungkuk, tampaknya beban di punggungnya cukup berat. Seperti kebanyakan siswa-siswa SMA lainnya, ketika jam belajar sekolah mereka selesai, mereka lantas berkumpul sebentar di halaman sekolah. Bersenda gurau dan saling mengejek adalah menjadi hal yang wajar terlihat ketika siswa sudah selesai belajar.
Demikian juga dengan Bondan, selepas dari kelas ia tampak berjalan menghampiri teman-temannya yang sedang bercanda. Bukan teman laki-laki yang ia sapa pertama kali, justru teman-teman wanitanya yang ia tuju. Di hadapan teman-teman wanitanya, tiba-tiba ia menaruh tasnya di lantai dan lantas membukanya.
Tanpa ragu dan tanpa malu, Bondan lantas mengambil bungkusan plastik transparan dari dalam tasnya. Bukan makanan ataupun bekal dari rumah, ternyata bungkusan tersebut berisi cabe hijau yang dicampur dengan cabai merah. Tanpa malu, ia lantas menawarkan bungkusan cabe tersebut kepada teman-teman wanitanya.
ADVERTISEMENT
"Mbak, cabe mbak sebungkus Rp 1.000. Buat ibuknya mbak, ayo beli dong," rayu Bondan kepada teman-temannya.
Beberapa teman memang membeli bungkusan cabe yang ia tawarkan tersebut. Namun, ada juga yang menolaknya karena mengaku tidak membawa uang. Hal tersebut tak membuat Bondan kecewa dan putus asa, ia tetap mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membeli dagangannya.
Setelah menghampiri teman-temannya, ia lantas berjalan keluar dan menuju ke rumah yang berada di depan sekolahnya. Terlihat ia mengetuk pintu rumah yang sebenarnya sudah terbuka. Lalu ketika pemilik rumah keluar, ia juga menawarkan bungkusan cabe.
Kali ini, ia merayu pemilik rumah agar bersedia membeli dagangannya dengan alasan untuk membayar biaya sekolah. Beruntung, 12 bungkus dagangannya langsung diborong oleh pemilik rumah tersebut. Satu persatu bungkusan cabe ia keluarkan dari dalam tasnya.
ADVERTISEMENT
Terlihat, buku paket sekolah di dalam tasnya sudah terlipat-lipat tak berbentuk. Selain buku paket, juga terlihat sebuah buku tulis yang kondisinya juga sama lusuhnya.
Karena dagangannya habis, ia lantas memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Dusun Bogor 2, Desa Bogor Kecamatan Playen yang berjarak sekitar 6 kilometer dari sekolahnya. Beberapa langkah menuju rumahnya yang berdinding bata lusuh dan sebagian berdinding bambu, terdengar ada suara seperti menggedor pintu.
"Itu suara adik saya dikurung di dalam rumah. Bapak sama ibu sedang ngarit jadi adik saya harus dikurung di dalam rumah biar tidak lari. Sebab kalau lari, susah mencarinya," tuturnya.
Sesampai di rumahnya, ia lantas membuka pintu utama rumah tersebut yang memang terkunci dari luar menggunakan sebilah kayu. Di dalam rumah yang berlantai semen, tampak adiknya mengenakan kaos hijau tanpa celana sedang tengkurap mencari sesuatu. Aziz Fuad Hanan (13), adik dari Bondan memang divonis autis oleh dokter sejak kecil.
ADVERTISEMENT
Usai menyapa adiknya, Bondan lantas membongkar lemari pakaiannya. Bukan untuk berganti baju dan celana, melainkan mencari plastik yang ia simpan di dalam lemarinya tersebut. Setelah itu, ia juga mengambil bungkusan kantong kresek berisi cabai merah dan hijau. Satu persatu, cabai tersebut ia masukkan ke dalam plastik lebih kecil.
"Kalau yang seribuan isinya 15 buah, sementara untuk yang dua ribuan isinya 25 buah," ungkapnya.
Tak ada timbangan yang pasti berat dari cabai yang ia jual tersebut. Ia hanya menghitung campur cabai merah dan hijau untuk dimasukkan ke dalam plastik kecil. Cabai-cabai tersebut ia persiapkan untuk berjualan di sore hari. Ia menjualnya selepas salat magrib hingga pukul 20.00 WIB, bahkan terkadang hingga pukul 21.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Untuk menjual dagangannya, ia harus mengayuh sepeda ontel BMX-nya selama 20-30 menit ke perumahan di seputaran sekolah. Usai berjualan, ia langsung pergi ke pasar Argosari Wonosari untuk kulakan cabai kembali. 1,5 kilogram selalu ia beli cabai di pasar Argosari, masing-masing 0,5 kg cabai merah dan 1 kg cabai hijau.
"Saya bagi dalam kantong plastik kecil. Kalau dua ribuan jadi 23 bungkus, kalau seribuan jadi 60 bungkus,"ujarnya.
Dari jualannya tersebut, setiap hari ia mengantongi untung Rp 30.000 hingga Rp 40.000 setelah dikurangi biaya untuk membeli plastik. Uang tersebut sebagian ditabung, sisanya diberikan kepada orang tuanya dan juga untuk jajan adik. Meski terkadang ada cibiran yang datang kepada dirinya, tetapi ia tetap lakukan.
ADVERTISEMENT
Tekadnya memang bulat ingin meringankan beban orang tuanya yang cukup berat, apapun ia lakukan. Selain berjualan cabai, di akhir pekan ia juga mengamen di Kota Wonosari menyanyikan lagu-lagu jawa. Baginya, apapun akan ia lakukan untuk membantu orang tuanya, asalkan halal agar semuanya berkah.
Suminah (49), ibu dari Bondan, mengaku sudah berupaya mencegah anaknya berjualan sayuran seperti itu. Namun karena tekad yang sangat kuat, ia terpaksa mengizinkan anaknya tersebut untuk berjualan cabai keliling, seperti dirinya yang berjualan sayuran. Meskipun pada akhirnya, prestasi sekolah anaknya harus kalah dengan rasa lelah berjualan.
Suminah mengaku sedih, tetapi apa daya, beban ekonomi yang begitu berat juga ia rasakan. Sejak suaminya Wagino (56), yang sehari-hari bekerja menjadi tukang ojek, mengalami kecelakaan dan mengakibatkan kakinya patah tahun 2008 lalu, Suminahlah yang menggantikan peran menjadi tulang punggung keluarga.
ADVERTISEMENT
Meskipun sebenarnya hasil jualan sayur keliling yang Suminah lakukan tersebut bisa untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah, tetapi beban berat lain yang masih mendera keluarga ini memang masih ada hingga kini. Setiap bulannya, keluarga ini harus mengeluarkan biaya berobat anak Suminah yang kedua, Azis Fuad Hanan.
Ketika lahir, Aziz mengalami sedikit kelainan dan terpaksa dirawat di Rumah Sakit Sardjito selama 29 hari. Setelah keluar dari rumah sakit, ternyata ia divonis menderita autis yaitu kelainan syaraf. Sehingga, demi bisa bertahan, anak tersebut harus melakukan perawatan secara rutin setiap bulannya di rumah sakit Sardjito yang jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggal mereka.
"Pakai BPJS sih, tetapi kalau yang obat syaraf dan kejang yang mahal itu tidak bisa pakai BPJS. Sekali periksa, bisa habis obat Rp 450 ribu belum lagi untuk perjalanan ke rumah sakit, butuh untuk sewa kendaraan," ceritanya.
ADVERTISEMENT
Meski sedih melihat anaknya berjualan sendirian seperti dirinya, tetapi kini ia hanya berdoa agar anaknya diberi ketabahan dan kemudahan dalam hal apapun. Ia salut dengan perjuangan anak sulungnya tersebut, selain jualan cabai, ternyata anaknya juga pernah berjualan bunga turi dengan cara berkeliling.
Untuk menghibur diri, keluarga ini juga beternak sapi. Meskipun hanya seekor, sapi ini harapannya bisa untuk uang cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Sapi tersebut sebenarnya juga hasil keluarga ini menabung. Berawal dari memelihara ayam, lantas bisa dijual dan hasilnya bisa untuk membeli kambing. Setelah dipelihara sekian lama, kambing mereka terkumpul dan menjadi 7 ekor sebelum akhirnya dijual ditukar dengan seekor sapi. (erl)