Sultan HB X Minta Maaf Atas Kasus Pemotongan Nisan Salib di Kotagede

Konten Media Partner
20 Desember 2018 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Raja Keraton sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X secara khusus menyampaikan permohonan maaf dari dirinya selaku pimpinan daerah atas terjadinya kasus pemotongan nisan yang terjadi di Kotagede, Yogyakarta, Senin (17/12/ 2018) lalu. Nisan salib makam warga beragama Katolik, Albertus Slamet Sugihardi yang berada di komplek pemakaman umum Jambon Kotagede saat itu dipotong bagian atasnya setelah muncul desakan warga kampung. Alasannya warga hendak menjadikan komplek itu jadi pemakaman muslim dan bisa memicu konflik pada warga yang mayoritas muslim.   “Saya selaku pimpinan wilayah, memohon maaf kepada Bu Slamet dan seluruh keluarga, juga kevikepan DIY serta pihak Paroki Gereja Kotagede yang terganggu atas peristiwa itu,” ujar  Sultan di Balaikota Yogyakarta, Kamis (20/12/2018). Sultan menegaskan jika Yogya masih menjadi kota yang penuh dengan toleransi.
ADVERTISEMENT
“Mewujudkan demokratisasi tak mungkin tanpa disertai sikap toleransi,” ujar Sultan. 
Hanya saja, dalam peristiwa pemotongan nisan salib itu, Sultan menilai telah terjadi kesepakatan sosial antar warga di tataran bawah yang mencoba menjaga kerukukanan namun dengan cara yang tak sesuai konstitusi. “Kami memahami dan mengerti aturan konstitusi dan perundangan. Namun belum tentu masyarakat paham. Mungkin cari praktisnya dasarnya kebersamaan untuk mencari solsui agar tak muncul gejolak,” ujarnya. Sultan menuturkan, dari informasi yang diterima pihaknya dan ditindaklanjuti dengan dialog dengan para pengurus kampung, diketahui warga kampung saat itu telah ikut membantu keluarga almarhum untuk mengurus pemakaman. Kemudian saat terjadi pemotongan nisan salib itu, ujar Sultan, terjadi setelah ada kesepakatan warga dengan keluarga almarhum demi menjaga relasi kerukunan. “Warga saat itu kemungkinan hanya mengambil sisi praktisnya saja (memotong nisan salib agar sama dengan makam lain), padahal ada acuan konstitusi menyangkut simbol keagamaan, ini yang tidak diperhatikan,” ujar Sultan. Sultan menuturkan peristiwa itu lantas menjadi masalah yang dikaitkan dengan intoleransi karena diviralkan.
ADVERTISEMENT
“Saat peristiwa itu menjadi viral, itu sisi asin atau manisnya jadi dilebih-lebihkan,”ujarnya. Sultan menambahkan, pihaknya menjadikan pelajaran kasus ini untuk memberikan kembali pemahaman kepada warganya. Terutama menyangkut nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat yang sudah dijamin konstitusi. Sehingga ketika terjadi kesepakatan-kesepakatan dalam upaya menjaga toleransi juga mengedepankan soal ketentuan dalam konstitusi itu. (atx/fra)