Tanggapan Psikolog Jogja soal Kasus Fetish Bungkus Korban dengan Kain Jarik

Konten Media Partner
31 Juli 2020 16:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akun Twitter @m_fikris membagikan foto dirinya sedang dibungkus kain jarik. Foto: mufis (@m_fikris) via Twitter
zoom-in-whitePerbesar
Akun Twitter @m_fikris membagikan foto dirinya sedang dibungkus kain jarik. Foto: mufis (@m_fikris) via Twitter
ADVERTISEMENT
Jagat maya belakangan diramaikan dengan trending kata kunci bungkus, fetish, dan pocong. Rupanya hal tersebut menjadi ramai bermula dari sebuah thread Twitter yang merupakan pengakuan seseorang yang diduga menjadi korban pelecehan. Dalam ceritanya, ia mengaku dirinya dimintai bantuan oleh seseorang bernama Gilang untuk membungkus diri seperri pocong dengan kain jarik. Mulainya ia tak melihat kejanggalan sampai akhirnya gempar bahwa pelaku diduga memiliki fetish terhadap bungkus membungkus dengan kain jarik.
ADVERTISEMENT
Lucia Peppy Novianti, seorang psikolog menjelaskan bahwa fetish sebetulnya merupakan kondisi yang merujuk pada gangguan seksualitas dalam diri seseorang. Dalam suatu kondisi, seseorang tersebut akan memperoleh kepuasan secara seksual melalui objek tidak hidup atau fokus pada spesifik tertentu.
"Fetishistic disorder, mengacu pada Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (DSM) 5 APA, maka kondisi tersebut merujuk pada gangguan seksualitas pada seseorang yang menggunakan objek tidak hidup atau memiliki fokus spesifik yang cukup kuat terhadap anggota tubuh selain organ genitalianya untuk mencapai kepuasan seksual," kata Peppy pada Jumat (31/7/2020).
Mengenai apa yang terjadi pada seseorang untuk mengetahui apakah itu suatu gangguan atau tidak, menurutnya diperlukan pemeriksaan mendalam oleh tenaga profesional kesehatan mental. Sehingga tidak bisa sekedar mencocokkan ciri-ciri berdasarkan deskribsi yang ada.
ADVERTISEMENT
"Untuk dapat menegakkan diagnosa adanya gangguan ini pada diri seseorang, dibutuhkan pemeriksaan mendalam dan terperinci oleh profesional kesehatan mental (baik itu psikiater ataupun psikolog), terhadap kemunculan gejala-gejalanya dan tidak sekedar mencocokkan ciri-ciri berdasarkan deskripsi gangguan tersebut," lanjutnya.
Dia menyoroti bahwa kasus ini tentu menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Terlebih dari banyaknya orang yang pernah menjadinkorban. Peppy menilai bahwa tentu kejadian ini baik di posisi korban maupun pelaku tak pandang status sosial, ekonomi, pendidikan, meupun gender. Menurutnya masalah ini pun perlu mendapat sorotan dan perhatian agar tidak sampai jatuh korban baru ada respons, apa lagi jika kasus tersebut sudah berlangsung sejak lama.
"Siapa saja memiliki risiko yang sama mengalami persoalan kesehatan mental. Siapa saja juga dapat menjadi ‘korban’ akibat orang lain yang mengalami persoalan kesehatan mental. Yang perlu lebih diperhatikan adalah bagaimana cara kita merespon dan membangun ketahanan diri terhadap risiko persoalan kesehatan mental ini," paparnya.
ADVERTISEMENT
"Hal kesehatan mental ini sering kali tidak terlalu nampak gejalanya, namun akan mudah menimbulkan persoalan ketika sudah cukup serius atau berlangsung lama. Oleh karena itu, sikap mengelola dan menguatkan kesehatan mental sedari dini, tidak menunggu sampai ada persoalan, perlu mulai disadari untuk diupayakan, pada berbagai lini masyarakat, baik privat dalam keluarga maupun pada institusi-institusi, seperti pendidikan, organisasi, masyarakat, sampai pada kebijakan-kebijakan," imbuhnya.
Informasi selengkapnya klik di sini.
Ia pun menunjukkan rasa empati sekaligus mengapresiasi bagaimana langkah korban mencoba tidak diam untuk mengungkap kejadian yang sudah berlangsung sejak lama tersebut. Apa lagi keberanian untuk menceritakan hal pahit sebagai upaya tak berjatuhan korban bungkus membungkus selanjutnya ini perlu mendapat dukungan, support, serta perlindungan. Pihaknya kini mendorong para korban untuk mulai mengobati diri dari perasaan tak menyenangkan, bahkan jika diperlukan, korban bisa mengakses layanan tenaga ahli kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
"Kalau tidak salah, pihak Unair sudah membuka diri terhadap aduan dan menyediakan konseling bagi para korban. Maka saya sangat mendorong teman-teman untuk mengakses layanan tersebut atau mencari bantuan profesional kesehatan mental (psikolog maupun psikiater) ketika teman-teman tidak ingin mengakses layanan yang disediakan oleh UNAIR. Masa depan teman-teman masih ada, dan masih panjang harapannya. Sekarang sudah saat nya bangkit, mencintai diri teman-teman sendiri, merawat diri teman-teman sendiri, dan terus melangkah untuk mencapai impian teman-teman," pesan Peppy.
Awal Mula Kasus Bungkus
Seperti yang beredar, kasus fetish berkedok riset ini mulai terungkap setelah seorang korban mengunggah thread Twitter. Dalam cuitan, pemilik akun Twitter @m_fikris menjelaskan mahasiswa bernama Gilang melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. Ia diminta oleh Gilang untuk membungkus dirinya memakai kain jarik. Setelah itu, Gilang meminta agar dikirimi foto dan video saat @m_fikris sudah dalam keadaan terbungkus.
ADVERTISEMENT
"Sumpah awalnya gw gak ngira si bisa kena pelecehan sexual kek gini. Gw kek bego banget gak tau mana riset mana hal-hal berbau fetish gini, rada shock juga si gw. Tp karena suatu pertimbangan (takut bertambahnya korban) gw jadi berani speak up," tulisnya memulai thread tersebut.
Kisah bermula dari perkenalan keduanya melalui akun Instagram. Setelah saling follow, keduanya lantas berkirim pesan dan meminta bantuan untuk riset. Tanpa menaruh curiga, pemilik akun menerima tawaran tersebut. Gilang lalu menjelaskan perihal riset yang akan dilakukan. Termasuk hal aneh dan mengganjal saat yang dimintai tolong harus dibungkus seperti pocong.
"Nah, dia bungkus-bungkus gw gitu biar gw tertekan terus ngeluarin emosi kayak nangis, cemas, gugup gitu," tulisnya lagi.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, pemilik akun yang awalnya sempat ragu kemudian melaksanakan permintaan Gilang. Bahkan ia juga turut membawa temannya untuk memenuhi permintaan Gilang. Pemilik akun membungkus diri seperti pocong sesuai dengan instruksi.
Sampai akhirnya suatu ketika pemilik akun merasa ada yang tidak beres dengan Gilang dari unggahan Instagramnya. Pemilik akun kali ini menolak dan menyadari dirinya telah menjadi korban pelecehan. Meskipun Gilang mengatakan bahwa dia melakukan itu karena sakit, pemilik akun tak peduli.
Korban lalu menghubungi seorang teman, dan menceritakan kejadian yang baru menimpanya. Menurut temannya itu, aktivitas bungkus membungkus seperti pocong atau dibungkus jarik adalah fetish atau kink.