UGM Sebut Harus Ada Penanggung Jawab Jika Relaksasi Masjid Dilakukan

Konten Media Partner
15 Mei 2020 13:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana masjid di Yogyakarta yang mengadakan salat berjemaah, Jumat (15/5/2020). Foto: Erfanto.
zoom-in-whitePerbesar
Suasana masjid di Yogyakarta yang mengadakan salat berjemaah, Jumat (15/5/2020). Foto: Erfanto.
ADVERTISEMENT
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) mewanti-wanti adanya jaminan serta siapa yang bertanggungjawab berkaitan dengan rencana Menteri Agama RI, Fachrul Razi yang akan melakukan relaksasi tempat-tempat ibadah selama pandemi COVID-19 masih berlangsung saat ini.
ADVERTISEMENT
Anggota Satgas Penanggulangan COVID-19 UGM, Riris Andoni Ahmad, menuturkan jika sudah tergambar jelas bahwa kerumuman menyebabkan penularan atau resiko penularan lebih tinggi. Karena selama ini, protokol social distancing sebenarnya sudah banyak dilakukan, dan tak sedikit yang tidak mengindahkannya.
"Prakteknya sudah standar. Jaga jarak, menggunakan masker, cuci tangan menggunakan sabun ataupun menggunakan hand sanitizer sering dilaksanakan," ujarnya, Jumat (15/5/2020) ketika dihubungi ke nomor pribadinya.
Jika ada relaksasi tempat peribadahan, Riris mempertanyakan adakah orang atau personil yang memastikan dan bertanggung jawab mengenai praktek social distancing di keramaian dapat dilaksanakan meskipun di keramaian. Karena jika tidak ada, maka kebijakan pelonggaran tersebut nanti akan menjadi bumerang sendiri.
Menurutnya perlu ada kejelasan mengenai relaksasi atau pelonggaran seperti apa yang akan diperbolehkan oleh pemerintah. Bila pelonggaran yang dimaksud masih memungkinkan kerumunan besar, maka hal itulah yang menjadi bermasalah
ADVERTISEMENT
Jika ibadah di tempat ibadah harus berjalan maka harus ada yang memastikan sosial distancing. Namun nampaknya hal tersebut agak sulit dilaksanakan mengingat ada ada anggapan bagi sebagian orang yang mengatakan nilai ibadah justru di nilai dari kedekatannya.
"Jika bisnis itu lebih gampang. Karena nilai dari bisnis adalah efisiensi, dan itu masih bisa diutak-utik," ujarnya.
Informasi selengkapnya, klik di sini.
Ia kembali menandaskan pelanggaran tempat-tempat ibadah tersebut nanti wujudnya seperti apa. Jika tidak bisa memastikan prinsip-prinsip social distancing maka sebaiknya relaksasi masjid belum dilaksanakan.
Selama ini juga masih ada kerancuan terkait dengan siapa yang bertanggung jawab dalam kegiatan peribadatan tersebut termasuk segala konsekuensinya. Di mana jika terjadi penularan COVID-19 maka harus ada penerapan sanksi bagi penanggung jawab kegiatan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Seperti yang terjadi di Korea Selatan, di mana ada seorang pendeta yang tetap bersikeras untuk melaksanakan peribadahan dan mengakibatkan adanya penularan penyakit COVID-19 tersebut. Pendeta tersebut lantas dituntut hukuman dengan pasal pembunuhan berencana. Demikian juga di India, penanggung jawab jamaah tablig dituntut di meja hukum," paparnya.
Pada prakteknya, masih sulit melaksanakan hal tersebut di Indonesia. Sehingga menurutnya yang paling penting adalah siapa yang harus bertanggung jawab dalam kegiatan peribadatan massal tersebut jika nanti ada pelanggaran.
Sebenarnya kebijakan memberikan sanksi kepada penanggung jawab kegiatan peribadatan yang mengakibatkan jamaahnya tertular penyakit bisa dilaksanakan. Karena undang-undang tentang wabah bisa menjadi dasar untuk penerapan kebijakan tersebut.
"Jadi mungkin ada pada undang-undang wabah, kalau ada orang yang dianggap melakukan usaha perlawanan untuk penengendalian wabah bisa dipidanakan," pungkasnya.
ADVERTISEMENT