YLBHI Minta Pasal 27 UU ITE Dihapus

Konten Media Partner
5 September 2018 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta pemerintah menghapus Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu mengatur tentang larangan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ketua Divisi Advokasi YLBHI Yogyakarta, Emanuel Gobay, mengatakan pasal 27 UU ITE kini telah menjadi momok kebebasan berekspresi di masyarakat. Belasan ribu orang di seluruh Indonesia telah menjadi korban dari pemberlakuan undang-undang tersebut. Dan biasanya, korban dari Pasal 27 UU ITE tersebut adalah kaum lemah atau kaum marjinal. Pihak YLBHI meminta penghapusan pasal tersebut karena seringkali menjadi alat bagi kaum kuat untuk melawan dan menekan kaum lemah. Tak jarang, pasal tersebut digunakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan untuk 'menyerang' orang yang dianggap merugikan mereka. "Belasan ribu orang tersandung UU ITE. Dan pelapornya sebagian adalah orang yang 'berkuasa'," ujarnya di kantor YLBHI Yogyakarta, Rabu (5/9). Menurut Gobay, pasal 27 tersebut adalah pasal siluman yang sengaja dimasukkan oleh pihak tertentu untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia. Pihak yang sengaja memasukkan pasal siluman tersebut memiliki kepentingan tersembunyi di negara ini. Oleh karena itu, pasal 27 dalam UU ITE layak  untuk dihapus. Korban sudah banyak berjatuhan sejak pemberlakuan UU ITE tersebut. Di Yogyakarta, YLBHI sendiri telah menangani tiga kasus pelanggaran Pasal 27 UU ITE tersebut. Di antaranya Ervani Dwi Aryani yang dituduh mencemarkan nama baik mantan bosnya, Fatur, pecinta kucing yang berurusan dengan pengelola perawatan. "Terakhir Eki Lamoh, pentolan grup band Edane yang justru dilaporkan ke polisi karena mengkritik kinerja polisi," tambahnya. Dan kali ini UU ITE justru menjerat Anindya Shabrina Joediono, mahasiswi Surabaya yang menjadi korban kekerasan seksual saat menghadiri diskusi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan dibubarkan oleh pihak berwenang, saat itu ia mendapat pelecehan. Anindya melaporkan ke polisi malah dia dituduh mencemarkan nama baik. Di tempat yang sama, Anindya mengatakan peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 6 Juli 2018. Saat itu ia menghadiri diskusi di Asrama Papua. Di tengah diskusi, tiba-tiba didatangi oleh Camat Tambaksari, polisi dan aparat yang lain. "Kami diskusi itu kan tidak salah. Kalau soal izin, apakah diskusi itu perlu izin," ceritanya. (erl/fra)
ADVERTISEMENT