65 Ribu Ton Gula Terancam Tak Terjual, Bupati Malang Surati Presiden

Konten Media Partner
26 Januari 2021 13:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dwi Apriyanto, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Malang. Foto: Rizal.
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Apriyanto, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Malang. Foto: Rizal.
ADVERTISEMENT
MALANG - Puluhan ribu ton gula hasil tebu petani di Kabupaten Malang terancam tak laku dijual di pasaran. Pasalnya, diwacanakan akan muncul Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang harganya lebih murah dari gula lokal tersebut. Setidaknya ada 65 ribu ton gula lokal yang saat ini masih mengendap di gudang Pabrik Gula (PG) Kebon Agung dan PG Krebet. Puluhan ribu ton tersebut hingga kini belum terjual lantaran tidak ada pengepul yang mau membeli. Untuk menanggulangi hal tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Malang akan menyurati Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
"Kami akan membantu para petani tebu ini dengan menyurati Presiden Joko Widodo langsung," terang Bupati Malang, Muhammad Sanusi, saat dikonfirmasi pada Selasa (26/01/2021) di Pendopo Agung Kabupaten Malang. Surat Sanusi tersebut bertujuan meminta Presiden Joko Widodo untuk menekan investor agar membeli gula lokal yang terancam tak terbeli tersebut.
"Kemarin kan sudah menekan kontrak (untuk membeli gula lokal), tapi dibatalkan. Oleh karena itu kami meminta bantuan presiden agar para investor menepati janjinya," tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua DPD APTRI PG Kebon Agung, Dwi Irianto, menjelaskan bahwa alasan menyurati presiden tersebut karena peluang menjual gula pada pengepul sudah sirna.
Para pengepul tersebut tidak berminat membeli gula lokal pasalnya gula GKR dan gula mentah hasil impor akan mulai beredar. "Gula lokal itu harganya lebih mahal daripada gula GKR dan gula mentah imporan tersebut. Kalau gula lokal Rp 10.800,- per Kg dan gula imporan itu sekitar Rp 7.000,- per Kg itupun sudah diolah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau sama-sama sudah dijual dengan HET (Harga Eceran Tertinggi) sekitar Rp 12.000,- maka masyarakat akan lebih memilih gula imporan tersebut," sambungnya.
Oleh sebab itu, Dwi mengatakan hanya ada satu cara agar puluhan ribu ton gula tersebut bisa terjual. Yaitu dengan memaksa investor membeli gula-gula tersebut. "Hanya lewat presiden itu agar investor mau membeli, kalau tidak maka petani lokal akan tekor. Mereka sudah keluar biaya produksi, tapi hingga kini belum dibayar (hasil gula)," pungkasnya.