85 Tahun Tak Pernah Rasakan Listrik di Kampung Damarwulan Kediri

Konten Media Partner
11 September 2020 16:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Agus Widodo menunjukkan solar cell yang dipasang di atas genteng rumahnya. foto:Rino Hayyu.
zoom-in-whitePerbesar
Agus Widodo menunjukkan solar cell yang dipasang di atas genteng rumahnya. foto:Rino Hayyu.
ADVERTISEMENT
KEDIRI- Kondisi perkampungan kopi Afdeling Damarwulan, Desa/Kecamatan Puncu yang tidak tersentuh PLN sejak 1935 sangat memprihatinkan. Puluhan kepala keluarga di kampung perkebunan kopi peninggalan Belanda itu nyaris tidak bisa menikmati fasilitas listrik. Kecuali, pada pukul 17.00 hingga 23.00 malam, warga kampung tersebut bisa menikmati listrik dengan menggunakan jenset.
ADVERTISEMENT
Lantaran kondisi tersebut, Agus Widodo, Ketua RT 01 berusaha mencari jalan keluar. Yakni, dengan membeli solar cell atau pembangkit tenaga surya secara mandiri. “Saya beli sendiri, tapi ya lumayan harganya,” terang Agus Widodo kepada tugumalang.id partner kumparan.com. Pria yang akrab disapa Dewo ini membeli solar cell dengan harga Rp 800 ribu dan ditambah baterai aki 60 ampere seharga Rp 1,2 juta. Dengan mempunyai solar cell itu, kata Dewo, ia bisa menggunakan listrik untuk mengisi baterai gawai miliknya pada siang hari. Bahkan, beberapa tetangganya juga ikut menikmati. Tak hanya itu, ia bisa memanfaatkan untuk lampu led 15 watt. “Buat pasang tiga lampu, di ruang tamu, kamar tidur, dan kamar mandi,” imbuh pria 48 tahun ini.
Baterai aki sebagai penyimpan listrik dari solar cell milik Agus Widodo.
Sayangnya, meskipun sudah berusaha mandiri ini, sayangnya kampungnya juga sangat kesulitan untuk mencari sinyal internet. Sehingga, pancaran sinyal tersebut hanya sesekali masuk ke gawainya lalu hilang untuk beberapa waktu kemudian. “Kalau liat HP ya sinyalnya silang terus, kadang keluar sebentar terus bisa liat pesan WA. Susahnya sekarang ini kan kita harus naik turun ke kampung bawah untuk mengirim tugas sekolah anak,” kata Dewo.
Alat konventer aliran listrik menuju ke kabel rumahnya.
Kampung bawah yang dimaksud Dewo adalah pusat Desa Puncu. Karena, anak-anak bisa mengirim tugas di Polsek Puncu dengan jarak sekitar 2,5 Km. Atau ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit. Hal tersebut harus menambah pengeluaran keluarga untuk membeli bensin. Padahal penghasilan warga yang menjadi karyawan kebun hanya Rp 40 ribu perhari. Bisa dikatakan, kampung ini sangat jauh dari pembangunan infastruktur. “Kalau harapannya ya jelas ada pembangunan seperti kampung yang lain, tapi ya itu di sini lahan perkebunan,” tutur pria bertopi ini.
ADVERTISEMENT
Dewo memperkirakan apabila ukuran solar cellnya lebih besar dan kuat arus listrik dari baterai aki mencapai 150 Ampere, ia bisa kemungkinan bisa menyalakan televisi pada siang hari. Minimal, kata Dewo, warga tidak ketinggalan informasi. Karena kendala biaya, Dewo hanya bisa menggunakan baterai aki 60 Ampere tersebut. “Ini baterai kecil, kalau mau yang besar yang biasa dipakai truk itu lumayan mungkin bisa liat TV nanti,” ungkapnya.