Analisis Ahli Geofisika UB soal Gempa dan Tsunami di Laut Selatan Jawa

Konten Media Partner
26 Juli 2019 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Ahli Geofisika Universitasge Brawijaya, Profesor Adi Susilo PhD. Foto: Gigih Mazda/tugumalang.id
zoom-in-whitePerbesar
Ahli Geofisika Universitasge Brawijaya, Profesor Adi Susilo PhD. Foto: Gigih Mazda/tugumalang.id
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG.ID - Lempengan dan kerak bumi itu selalu beradu, bertumbukan, saling berjejal, hingga akhirnya patah dan menciptakan getaran. Itulah gempa bumi.
ADVERTISEMENT
Indonesia berada di kawasan Lingkaran Api, dikepung oleh lempeng bumi dan ratusan gunung berapi aktif. Maka tak heran, bencana gempa dan gunung meletus menjadi hal yang patut diwaspadai.
Lalu, bagaimana dengan potensi gempa bumi sebesar 8,8 magnitudo dan tsunami hingga setinggi 20 meter yang dijelaskan oleh pihak Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) baru-baru ini?
Ahli Geofisika dari Universitas Brawijaya (UB), Profesor Adi Susilo PhD, tidak serta-merta membantah hal itu. Bahkan, ia menyatakan bahwa potensi tersebut memang ada.
"Kami tidak membantah bahwa itu (gempa 8,8 magnitudo dan tsunami 20 meter) salah. Potensi memang ada, karena itu memang jalur tumbukan megathrust," kata Adi, kepada tugumalang.id, Kamis (25/7).
Lantas, apakah betul gempa dan tsunami akan terjadi dalam waktu dekat? Adi menjelaskan bahwa alam sebenarnya sulit untuk diprediksi. Bencana bisa terjadi kapan saja dan tak bisa diprediksi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, metode matematis melalui hitung komputasi juga bisa untuk memprediksi potensi kejadian gempa dan tsunami. Sebab, memang terdapat siklus gempa bumi itu terjadi.
Adi menjelaskan, potensi gempa besar di lepas pantai laut selatan di kawasan Banyuwangi dan juga Bali itu terjadi sekitar 30 tahun sekali. "Tapi itu hanya perkiraan, tidak bisa diprediksi di mana tempatnya dan kapan waktunya," ujarnya.
Menurutnya, kabar gempa dan tsunami di megathrust diberitakan bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan agar masyarakat selalu waspada dan tanggap karena Indonesia memang dikepung lempeng bumi.
"Sebenarnya tidak perlu takut, hanya waspada. Sebenarnya hal itu diungkapkan dengan tujuan agar masyarakat waspada," imbuh pria yang juga Dekan Fakultas MIPA UB itu.
ADVERTISEMENT
Di laut selatan juga terdapat tumbukan antara lempeng Eurasia dan juga Indo-Australia. "Beruntungnya, di laut selatan Jawa itu usia lempengnya sudah tua, sehingga mudah patah," lanjutnya.
Patahnya lempeng-lempeng tua itu berdampak pada terjadinya getaran gempa kecil yang kadang dapat dirasakan masyarakat. Namun, menurutnya, itu pertanda baik.
"Jadi semakin sering terjadi gempa kecil-kecil itu sebenarnya semakin baik. Sebab, itu artinya sedang ada aktivitas pelepasan energi. Hal itu justru berbahaya jika satu tempat tersebut lama tidak terjadi gempa. Bisa saja, begitu terjadi gempa langsung besar kekuatannya karena akumulasi energi bertahun-tahun," bebernya.
Ia mencontohkan, gempa yang terjadi di selatan Banyuwangi dan selatan pulau Bali beberapa hari lalu adalah contoh baik pelepasan energi. Namun, ia beranggapan bahwa lempeng yang berusia muda di daerah selatan Pulau Sumatera bagian barat-lah yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
"Karena lempengnya masih muda, maka pergeseran lempeng di sana lebih cepat, mungkin sekitar 10-12 sentimeter per tahun," ujarnya.
Ia menjelaskan, di selatan Jawa, pergeseran lempeng tergolong lambat, yakni 6-7 sentimeter per tahunnya, dan itu juga mudah patah, sehingga kerap terjadi gempa dalam intensitas yang tidak terlalu besar.
Pentingnya Mengasah Kemampuan Mitigasi Bencana
Ilustrasi Gempa Foto: Thinkstockphotos
Tak hanya itu, menurut Adi, hal terpenting yang harus diperhatikan semua pihak adalah terkait kesiapan mitigasi bencana.
"Tujuan menyatakan megathrust itu satu sisi yang baik. Sebab, masyarakat ini sering lupa. Jadi ini bisa mendorong agar relawan atau taruna siaga bencana aktif kembali mengasah kemampuan mereka," imbuhnya.
Selain itu, tsunami yang terjadi di kawasan Indonesia akibat tumbukan lempeng tektonik masih memiliki ciri yang khas dan dapat digunakan untuk mitigasi bencana. Menurutnya, evakuasi itu dilakukan dengan cara naik ke bukit atau tempat yang tinggi, bukan ke tanah lapang yang datar.
ADVERTISEMENT
"Cirinya yaitu airnya rob (surut) dulu. Jadi kalau surutnya sudah mencapai batas pasang surut yang biasanya, ya itu harus segera lari menyelamatkan diri," terangnya. ]
"Selain itu mitigasi bencana juga perlu dilatih, sebab dalam keadaan panik itu biasanya mereka lupa. Jangankan itu, bahkan dalam simulasi saja ada yang mengeluarkan sepeda motor. Itu biasanya malah macet. Jadi tinggalkan, tidak perlu motor atau apa. Itu justru nanti mengganggu," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Benteng Alam Dinilai Paling Masuk Akal
Pencegahan terhadap terjangan gelombang tsunami dengan menggunakan tanggul atau semacam konstruksi buatan manusia dirasa tidak efektif oleh Adi. Sebab, menurutnya yang paling bagus adalah menciptakan benteng alam sejak dini.
"Sebab jika kita bangun semacam konstruksi atau alat pemecah ombak dengan 'enginering', tentu itu akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Menanam benteng alami seperti mangrove atau tumbuhan bakau, dan juga pohon-pohon di sepanjang pesisir pantai saya kira yang paling efektif. Terlebih ini juga bagus untuk lingkungan hidup," terangnya.
"Paling tidak, itu untuk menghambat laju gelombang tsunami," terangnya.
Ia menyatakan bahwa hal yang sangat penting dilakukan pemerintah: membangun benteng alam di pesisir-pesisir yang rawan diterjang gelombang tsunami.
ADVERTISEMENT
Reporter: Gigih Mazda
Editor: Irham Thoriq