Harapan Baru Dunia Perdagangan Indonesia di Jilid II Jokowi

Konten Media Partner
2 November 2019 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Harapan Baru Dunia Perdagangan Indonesia di Jilid II Jokowi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Oleh: Iden Robert Ulum*
Sepanjang Januari hingga September tahun ini, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar US$ 1,95 miliar atau sekitar Rp 27,23 triliun. Meski terbilang tak setinggi tahun 2018, angka ini masih dirasa sangat merugikan perdagangan Indonesia. Besarnya nilai impor yang tak sebanding dengan nilai ekspor di sektor Migas selalu menjadi penyebab utama defisitnya neraca perdagangan nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tiga tahun awal pemerintahan jokowi (2015-2018), yang berhasil mencetak skor positif dalam neraca perdagangan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah tentu harus serius dalam menangani permasalahan defisit neraca perdagangan ini. Dampaknya terhadap Neraca Transaksi Berjalan (current account deficit) yang negatif pada akhirnya akan membuat nilai rupiah semakin rentan terhadap gejolak ekonomi global. Oleh karenanya, pemerintah harus membuat serangkaian kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satunya, menahan gempuran produk-produk impor dan meningkatkan kualitas dan kuantitas ekspor Indonesia, khususnya pada sektor non-migas.
Selain melakukan penguatan daya saing di sektor manufaktur, usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) juga memiliki potensi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan ini. UMKM yang kini mencapai 62 juta unit usaha dapat dimaksimalkan untuk membuat produk substitusi impor guna menekan angka impor kita. Selain itu dengan memaksimalkan UMKM yang memiliki produk-produk ekspor, melakukan ekspansi pasar yang lebih luas lagi di luar negeri, tentu pelan tapi pasti akan dapat menaikkan nilai surplus neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan yang yang dapat meningkatkan daya saing UMKM perlu dibuat seperti pendampingan dan pendidikan kepada pelaku UMKM untuk meningkatkan kualitas produknya, memberikan akses permodalan dan mempermudah perizinan ekspor.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi perdagangan yakni aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Kita berharap UMKM dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional di tengah kerasnya persaingan global. Apalagi, dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi ingin mempercepat pengembangan UMKM dengan merevisi aturan-aturan yang menghambat tumbuh kembangnya UMKM dan membuat UU Pengembangan UMKM.
Tantangan Perkembangan E-commerce
Di sisi lain, Perkembangan e-commerce seakan membuka pintu perdagangan internasional semakin lebar. Angka impor dan ekspor melalui e-commerce pun melaju pesat. Dirjen Bea Cukai mencatat bahwa pada tahun 2019, impor dari e-commerce berkontribusi 0,42 persen terhadap total impor Indonesia atau diperkirakan mencapai sekitar 65,1 Juta Dolar Amerika atau sekitar 924 miliar rupiah. Hal ini menjadi tantangan lain ditengah semakin maraknya perdagangan melalui e-commerce. Sementara ekonomi digital Indonesia tercatat mengalami kenaikan rata-rata sebesar 49 persen setiap tahunnya berdasarkan laporan e-conomy SEA 2019. Bahkan Riset terbaru yang dikeluarkan kerjasama Google & Temasek ini mengestimasi ekonomi digital Indonesia akan meningkat dari US$ 40 Miliar (setara Rp 560 triliun) pada tahun 2019, menjadi sebesar US$ 130 Miliar (setara Rp 1.820 triliun) pada tahun 2025. Jika potensi ini dapat dikonversi dengan baik, bukan tidak mungkin ini dapat memperkuat neraca perdagangan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meskipun jika meneliti lebih dalam kondisi yang terjadi saat ini adalah tidak sebandingnya nilai impor dan ekspor barang konsumsi yang ditransaksikan melalui e-commerce. Ketimpangan ini perlu dicurigai akibat dari lemahnya pengendalian impor. Minimnya hambatan non tarif yang diterapkan di Indonesia semakin meliberalisasi pasar dan membuat pertarungan pasar semakin terbuka. Di satu sisi, hambatan non tarif di negara lain semakin proteksionis terhadap barang konsumsi impor, sekalipun negara maju yang mendengungkan slogan isu Pasar Bebas. Maka memperbesar non-tariff measures (NTM) menjadi salah satu solusi untuk memproteksi pasar Indonesia terhadap gempuran produk-produk demi menjaga stabilitas produsen dalam negeri yang pada akhirnya juga berdampak pada jumlah serapan tenaga kerja dalam negeri. Tercatat pada tahun 2016 berdasarkan data WTO, Indonesia baru memiliki 272 NTM atau sebesar 12,3 persen dari total NTM yang dimiliki China sebanyak 2.194 NTM. Maka menjadi wajar jika produk negeri tiongkok semakin membanjiri pasar kita, dan tidak berlaku sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya soal NTM, dari sisi Chanel Online untuk dapat memasarkan produk kita di negara lain juga masih sangat terbatas. E-commerce B2C seperti Shopee dan Lazada, sejauh ini baru memfasilitasi penjualan produk yang dibeli langsung dari luar negeri, namun tidak berlaku sebaliknya. Murahnya biaya pengiriman barang dari luar negeri (hanya sekitar Rp 10.000 untuk wilayah Jabodetabek dan bahkan terkadang lebih murah dibanding jasa biaya pengiriman dalam negeri untuk pengiriman ke luar Jawa), menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha lokal untuk melakukan persaingan dengan kompetitor asing yang menjalankan usahanya dari negara asalnya. Jika kita ingin mendorong pelaku UMKM dan pelaku usaha Online dapat turut bersama meningkatkan neraca perdagangan ekspor, pemerintah harus dapat memberikan kebijakan dan atensi khusus agar e-commerce yang membuka kran perdagangan digital luar negeri, juga turut mendorong dan memfasilitasi agar produk-produk lokal kita dapat dipasarkan dan diterima di Luar Negeri.
ADVERTISEMENT

Tantangan Menjaga Stabilitas Harga Bagi Kemendag

Masih hangat dalam ingatan kita kegaduhan yang mewarnai berbagai media massa 2018 lalu, mengenai Kebijakan Impor beras yang dikeluarkan Kemendag kemudian berbenturan dengan kebijakan Kementan. Kebijakan Impor Beras Kemendag dinilai Kementan merugikan sebagian besar petani karena dilakukan di waktu yang kurang tepat yaitu masa panen. Hal ini sangat mungkin akan kembali terjadi jika tidak ada sumber data terintegrasi yang menjadi rujukan kementerian terkait untuk mengambil sebuah kebijakan. Di satu sisi kemendag berharap dapat menjaga stabilitas harga pasar, sementara Kementan berorientasi pada menjaga harga jual produk tani lokal agar menguntungkan bagi petani.
ADVERTISEMENT
Dipilihnya sosok Agus Suparmanto menjadi menteri perdagangan menjadi misteri tersendiri meski juga memunculkan secercah harapan kepada dunia perdagangan Indonesia. Meski nampak misterius karena tak banyak ditemukan profilnya, namun jika dilihat dari latar belakang partai pengusungnya, sudah semestinya sosok Agus dapat merepresentasikan kepentingan pelaku usaha lokal dalam menghadapi gempuran produk impor. Tentu publik mengenal partai ini sebagai partai dengan basis pendukung kuat di wilayah pedesaan. Di wilayah inilah produk lokal hasil buah karya masyarakat menengah ke bawah tumbuh dan berkembang.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Indonesian Policy Analysis (CIPA), EM14 Magister PPM Manajemen.