Jejak Damai Islam Nusantara di Tahun 1955

Konten Media Partner
2 Maret 2019 20:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PELAJARI JEJAK PENDAHULU: Diskusi Santrilogy Series di IAI Al-Qolam Malang, sabtu (2/3/2019) lalu (Foto: Gigih Mazda - Tugumalang.id)
zoom-in-whitePerbesar
PELAJARI JEJAK PENDAHULU: Diskusi Santrilogy Series di IAI Al-Qolam Malang, sabtu (2/3/2019) lalu (Foto: Gigih Mazda - Tugumalang.id)
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG.ID – Politik Apartheid sempat merajalela di Amerika Serikat pada periode 1950 an. Kala itu, orang-orang dari ras kulit hitam disudutkan. Beruntung bagi Indonesia, karena kondisi penyudutan ras itu tidak pernah terjadi. Para pendahulu benar-benar menerapkan kesetaraan dalam beberapa hal. Salah satunya tersaji saat Pemilu tahun 1955. Saat itu, perempuan sudah dibebaskan untuk ikut mencoblos. Kesempatan itu sulit didapat di beberapa negara. Salah satunya seperti di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Menurut beberapa pihak, keistimewaan tersebut menjadi salah satu imbas dari perjalanan Islam Nusantara. Poin itulah yang menjadi salah satu topik diskusi Santrilogy Series, sabtu (2/3/2019) pagi. Diskusi untuk menambah pemahaman terhadap dunia Islam, santri, dan pesantren itu digagas Institut Agama Islam (IAI) Al-Qolam Malang, Pesantren Center, dan Tugumalang.id. Diskusi itu menunjuk tema khusus: Santrilogy, Islam Nusantara, dan Visi Pengabdian Berbasis Pesantren.
”Di Amerika masih terpecah-pecah. Apartheid. Kesetaraan gender. Disini (Indonesia), sejak tahun 1950 an perempuan sudah nyoblos,” terang salah satu narasumber yang juga Ketua Rabithah Ma'ahid islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang, KH Abu Yazid. ”Islam Nusantara lah yang bisa menawarkan hal ini,” sambungnya. Meski memberi impact yang positif, ia berkisah bila perjalanan Islam Nusantara tidak sepenuhnya berjalan lancar.
ADVERTISEMENT
Di setiap perjalanan, ada saja aliran-aliran Islam yang memiliki faham kekerasan atau kematian seperti ISIS. ”Walaupun Agama Islam, tapi ideologinya kekufuran. Karena mereka kapitalis. Kapitalis ini tidak hanya ekonomi, tetapi kapitalis agama inilah yang berbahaya,” terang dia. Ia juga turut menyinggung kelompok yang mengaku pembela Islam, namun kerap melakukan tindakan kekerasan untuk memenuhi tujuannya.
Pemaparan dari KH Abu Yazid juga ditanggapi Pengawas Yayasan Al-Qolam, KH Fauzan Zenrif MAg. ”Kita harus benar-benar melakukan apa yg dilakukan oleh Gus Dur (panggilan akrab Alm KH Abdurrahman Wahid, red). Jadi tidak ada lawan. Lawan kita itu bukan Wahabi. Itu kawan kita. Setidaknya mereka itu manusia, meski mungkin belum selaras,” papar Fauzan. Ia meyakinkan bila kelompok-kelompok aliran Islam lain seperti Wahabi sebenarnya merupakan saudara sesama muslim.
ADVERTISEMENT
”Wahabi mungkin bisa menjadi ancaman. Tapi hal itu perlu dikaji kembali. Kemanusiaan yang kita kembangkan adalah rahmatan lil alamin, jadi seharusnya bukan hanya sekedar jargon,” tegasnya. Diskusi rencananya bakal dilanjutkan sabtu (9/3/2019) depan. ”Rencananya memang satu bulan sekali, namun tampkanya ini akan dilanjut pada sabtu depan,” sambung Direktur Pesantren Center, KH Abdurrahman Said.
Reporter: Gigih Mazda
Editor: Irham Thoriq
Foto: Gigih Mazda