Kecamuk Konflik Reformasi dalam Sebuah Karya Sastra

Konten Media Partner
21 Mei 2019 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para tokoh asal Malang yang ikut berdemonstrasi di 1998. Ada juga yang mengabadikan gerakan Mei 1998 melalui sembuah karya sastra.(olah foto tim desainer tugu malang).
zoom-in-whitePerbesar
Para tokoh asal Malang yang ikut berdemonstrasi di 1998. Ada juga yang mengabadikan gerakan Mei 1998 melalui sembuah karya sastra.(olah foto tim desainer tugu malang).
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG-Silang sengkarutnya kondisi Indonesia pada Mei 1998, tidak hanya membuat para aktivis ke ibu kota. Berbagai kerusuhan juga terjadi dibeberapa kota di Indonesia. Namun, salah satu untuk mengabadikan momentum Mei 1998 itu juga dilakukan oleh sastrawan asli Malang. Dialah Tengsoe Tjahjono, penulis buku Terzina Penjarah. Yakni kumpulan puisinya yang menggambarkan bagaimana kondisi menjelang reformasi.
ADVERTISEMENT
Seperti salah satu puisinya yang berjudul ‘Seorang Polisi Kepada Anaknya Yang Mahasiswa’. Dalam puisi itu menggambarkan sebuah keluarga kecil yang sedang berkecamuk. Lantaran sang ayah bekerja sebagai polisi, sedangkan anaknya merupakan bagian dari massa demonstran.”Itu sebenarnya khayalan saja, namun saya gambarkan bagaimana sang ayah mendukung aksi demonstrasi anaknya,” ungkap Tengsoe kepada Tugumalang.id.
Tengsoe Tjahjono, penulis buku Terzina Penjarah. (foto dokumen)
Menurutnya, dalam puisi itu ada peran ibu yang memberikan pesan kepada anak dan suaminya. Hal itu berada dalam satu meja ketika sarapan pagi. Kepada sang suami, lanjut Tengsoe, istrinya berpesan agar tidak memukul anaknya ketika demonstrasi. Justru kepada anaknya, istri polisi itu menitipkan pesan haru.”Berjuanglah, anakku. Krisis ini harus segera usai,” kata Tengsoe mengutip sajaknya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam bait terakhir puisi ini juga sangat menyentuh kalbu. Sebab, sang bapak akhirnya meminta maaf dan mendukung perjuangan anaknya sebagai demonstran.
Berikut puisi lengkapnya yang berjudul ‘Seorang Polisi Kepada Anaknya Yang Mahasiswa’ itu:
Anakku, tak nyangka kita kan bertemu dalam situasi rumit ini
Kau diseberang dengan yel-yel reformasi,
Aku disini dalam baju dinas yang memberangus nurani
Aku masih ingat pesan ibumu pagi tadi saat angin
Merontokkan daun-daun mahoni dan teh tanpa gula
Kuteguk dalam sunyi, “Jangan kau pukul anak sendiri.”
Aku juga lihat betapa ibu memelukmu erat sekali
“Berjuanglah, anakku. Krisis ini harus segeea usai,”
Dan matanya yang sembab menanamkan harapan padamu.
Aku tahun ini bukan pertemuan Karna dan Arjuna,
ADVERTISEMENT
Dua ksatria bersaudara, di padang Kurusetra.
Andaikan dirimu Arjuna, aku jelas bukan Karna.
Karena Karna memperjuangkan kesetiaan, aku tak ngerti untuk apa peluru ini kulepaskan.
Sungguh aku amat membenci diriku yang tak bisa berkata tidak,
Padahal perahu ini sungguh tenggelam dalam gelombang air mata
Bendera – bendera putih iotu siapa yang mau peduli
Ketika orang sibuk menyelamatkan diri sendiri
Aku, bapakmu, berdiri disini melepas nurani
Mungkin saja seperti robot king-kong mainan Buyung,adikmu.
Maka maafkan aku
Mas-masa ini sungguh punyamu
Berjuanglah anakku
Lawanlah aku, bapakmu.
Selain itu, Tengsoe juga menitipkan pesan kepada mahasiswa saat ini untuk terus membangun sikap kritis. Namun, jangan sampai salah arti jika kritis itu selalu anarkis. Sebab dua hal itu mempunyai definisi berbeda.“Kritis tapi bukan anarkis. Jangan lupa beri solusinya, jadi gerakan mahasiswa akan selalu abadi,” pungkas Dosen Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, Tugumalang.id juga mewawancarai Elwiq Primadani, editor dari novel berjudul ‘1998’ karya almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim. Dalam novel itu, Elwiq menuturkan jika karya Ratna tersebut merupakan ramuan dari cerita kawan-kawannya yang sering kerumahnya, di Jalan Diponegoro, Kota Malang.
Bahkan Elwiq, baru mengetahui jika novel ini dibuat Ratna jauh mendahului ‘Lemah Tanjung’ yang fenomenal pada 2003 silam. Dengan kondisi hambatan daksa, ternyata karya ‘1998’ itu seperti tersimpan di kepala Ratna. “Mbak Ratna kan kalau menulis selalu mencari bantuan orang lain, lalu dia cerita kalau sebenarnya sudah punya kumpulan cerita ini. Jadi menurut saya ini master piece Mbak Ratna,” kata Elwiq. Tak hanya itu, Elwiq juga mengatakan novel ‘1998’ ini karya yang abadi. Sebab, tepat dengan momentum nyata yang diada di Indonesia. Bahkan sempat menjadi perhatian dunia.
ADVERTISEMENT
Elwiq Primadani, editor dari novel berjudul ‘1998’ karya almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim.
Untuk mengetahui jalan cerita novel tersebut, Elwiq menggambarkan ringkas. Jika dalam novel itu kental dengan suasan keluarga dan kekerabatan yang saling mempunyai pandangan berpikir tentang agenda reformasi. Dengan kata lain, Mbak Ratna sedang menyajikan adanya perdebatan dalam melihat reformasi. Sebagaimana karya Tongsoe, karya Ratna menyajikan paradoks dalam reformasi.
Reporter : Rino Hayyu Setyo
Editor : Irham Thoriq