Kecenderungan Rasa Inferior Mahasiswa Malang dalam Budaya 'Loe-Gue'

Konten Media Partner
31 Agustus 2019 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Guru besar UM Prof Dr Djoko Saryono M.Pd. foto : facebook.
TUGUMALANG- Fenomena pemakaian bahasa 'Loe-Gue' di kalangan mahasiswa di Malang, Jawa Timur, mendapatkan tanggapan serius dari akademisi Universitas Negeri Malang (UM), Profesor Dr Djoko Saryono. Dari hasil mini survei yang dilakukan tugumalang.id, Djoko menyoroti kecenderungan inferior ketika mahasiswa menggunakan logat ibu kota itu.
ADVERTISEMENT
"Bentuk mental inferior bisa terjadi, kalau surveinya menyebutkan demikian," kata Djoko Saryono. Berdasarkan survei tugumalang.id, pada pertanyaan ketiga, asumsi apakah yang membuat mahasiswa Malang mulai mengadopsi 'loe-gue'? Responden Tugumalang.id menjawab 82 persen responden mengaku ingin lebih terlihat seperti anak kota. Inilah yang disebut Djoko sebagai relasi antara sikap inferior (merasa rendah diri) dan superior (merasa lebih hebat dari pada orang lain).
Menurutnya, simbol bahasa walikan selama ini menjadi budaya khas Malang. Apabila bersanding dengan 'Loe-Gue', lalu 'Ayas-Umak' mulai ditinggalkan, maka mahasiswa di Malang mungkin sedang mencari suatu bentuk kebaruan. Ia menyebutkan, beberapa diksi bahasa walikan Malang juga terus berubah.
Seperti contoh, pada tahun 1980-an, lanjut Djoko, belum ada penggunaan frasa kera Ngalam (Arek Malang atau anak asal Malang,red). Kala itu, lazimnya menggunakan genaro Ngalam (Orang Malang,red). Hal ini terus berubah sesuai dengan pengucapan yang lebih luwes.
ADVERTISEMENT
Ia memaklumi jika penggunaan bahasa cenderung berubah-ubah setiap zaman. Akan tetapi, yang perlu dilihat dan disadari masyarakat, perubahan itu berasal dari frekuensi yang tinggi atau populasi mahasiswa ibu kota yang meningkat di Malang. "Tinggal dilihat dari mana pengaruhnya saja," pungkasnya.
Penulis : Rino Hayyu Setyo
Editor : Irham Thoriq