Ketika Festival Buku Patjar Merah Berjuang Melawan Mitos

Konten Media Partner
1 Agustus 2019 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Festival Patjar Merah menargetkan pendapatan omset Rp 4 miliar ditengah anggapan 'lesunya' dunia literasi saat ini. Ada dua mitos yang hendak di lawan acara ini. Seperti apa?

ADVERTISEMENT
Suasana festival Patjar Merah di Bioskop Kelud, Kota Malang.
ADVERTISEMENT
Bioskop kelud, dulu adalah bioskop kebanggan arek Malang pada tahun 1980-an. Tapi, beberapa tahun belakangan, bioskop itu mangkrak dan kumuh. Tapi, dalam beberapa hari terahir, bioskop ini tiba-tiba ramai. Tidak karena bioskop itu ’hidup lagi’.
Tapi, karena bioskop tersebut menjadi tempat diselenggarakannya Festival Patjar Merah. Dari luar bioskop, tercium khas buku baru. Sulit untuk dideskripsikan, tetapi Anda pasti paham aroma itu. Ya, jutaan tumpukan buku tertata rapi sekaligus memenuhi luas lapangan yang dulunya dipakai untuk duduk sembari menonton film.
Tajuk festival buku ini pun sesuai dengan penyelenggara itu sendiri, patjarmerah – Festival Kecil Literasi dan Pasar Buku Keliling. Sesuai jadwal yang telah dibuat, festival ini diselenggarakan selama 9 hari, atau baru akan berakhir 4 Agustus mendatang. Menurut salah seorang penggagas festival ini yakni Irwan Bajang, festival ini merupakan antitesis dari mitos generasi menunduk dan literasi Indonesia yang dianggap rendah.
ADVERTISEMENT
Buku-buku fiksi merupakan buku yang paling diburu penunjung.(foto: muhammad sadheli/tugumalang,id).
Pertama, istilah generasi menunduk identik dengan kamu milenial sekarang. Tepat sekali jika Anda menjawab bermain gawai sebagai ciri khasnya. Gawai menjadi komoditas paling penting di tangan manusia saat ini. Tak heran jika banyak melihat orang-orang memandang gawainya dengan menunduk. Entah di halte, tempat makan, moda transportasi hingga orang yang sedang berjalan sekalipun.
Namun, berbeda di patjarmerah ini. Benar jika para pengunjung menunduk. Bukan dengan gawai, tetapi buku. Patjarboekoe (sebutan pengunjung patjarmerah) fokus dengan tumpukan buku, membolak-balikkan buku atau halaman untuk membaca resensi. Atau mungkin juga harga untuk dipinang. Jika festival ini dibilang pasar, sangat aneh. Mengapa? Meski ramai sangat terasa sayup-sayup dengan sedikit komunikasi aktif, hanya sesekali. Bibir pengunjung seakan tertutup rapat karena pandangan mata, pikiran tertuju buku yang sedang mereka baca untuk dibeli.
ADVERTISEMENT
Dua orang pengunjun festival melihat-lihat buku.(foto-foto: muhammad sadheli/tugumalang.id).
Suara ramai hanya dari pengeras suara di sebelah selatan tepatnya di dua sisi panggung yang menyetel lagu-lagu indie. Sesekali lagu perjuangan yang erat dengan kasus HAM. Bersaingan dengan suara troli yang dikerek mengikuti patjarboekoe, tak bertempo. Cocok? Lempar ke troli, seret, pindah ke tumpukan buku lainnya. Mata tertuju pada satu buku, baca resensi, cocok, lempar lagi. Begitu seterusnya hingga tak terasa sudah penuh saja.
Kedua, Irwan Bajang menegaskan jika literasi di Indonesia rendah hanya mitos belaka. ”Ini mencengangkan dan prestasi sekali. Malang luar biasa, minat baca Indonesia yang rendah menurut saya hanya mitos belaka,” tegas Bajang. Terbukti, di hari pertama saja sebelum dibuka, pintu masuk sudah dijejali pengunjung yang mengantre. Total, dalam hari tersebut lebih dari 3500 patjarboekoe yang masuk.
ADVERTISEMENT
Di hari berikutnya, tak jauh berbeda dari sebelumnya. Sama ramai dan kebanyakan yang hadir adalah keluarga Tak heran jika buku anak menjadi buku paling laris di hari kedua. ”Hari Minggu kan hari keluarga, banyak keluarga dating berkunjung bersama anak-anaknya,” ungkapnya. Sementara hari ketiga juga tak kalah ramai. ”Kebanyakan yang datang anak pelajar pakai seragam,” tambahnya.
Berkaca dari festival yang sama di Jogja, rata-rata perhari dating 4000 pengunjung.
Suasana diskusi yang menghadirkan penulis Yusi Avianto Parianom dan Mas Aik.
Meski belum mencapai angka tersebut, Bajang tidak kecewa. Bahkan, dia optimis dengan statemen minat baca Indonesia rendah itu hanya mitos. Sebab, perbedaan jelasnya adalah penyelenggaraan di Kota Malang ini saat kampus-kampus di Malang sedang meliburkan aktivitas belajar mengajarnya. Bisa dibilang, yang datang berkunjung orang lokal dan sekitarnya tanpa status mahasiswa.”Mungkin bisa lebih besar dari Jogja dengan faktor kampus libur,” kata Bajang, yakin.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, buku fiksi yang paling dicari. Selain itu, patjarmerah menyediakan 120.000 judul buku dengan total menyentuh satu juta eksemplar. Jika di rata-rata, satu judul buku 8 eksemplar. Beberapa kategori buku yang disediakan meliputi fiksi, nonfiksi, penunjang pelajaran, bacaan anak dan orang tua, kuliner, hingga pengetahuan popular. Di sisi lain, target penjualan buku mencapai Rp 3 miliar. ”Dalam dua hari kemarin, sudah masuk 500 juta. Kami optimis bisa mencapai seperti di Jogja hingga 4 miliar,” tandas Bajang.
Di sela-sela pasar buku, juga ada workshop dari penulis kelas nasional, content creator, pemusik, sastrawan yang turun langsung menyapa penggemarnya. Seperti Seno Gumira Ajidarma, Aan Mansyur, Reda Gaudimo, Alexander Thian, Ria Papermoon, Valiant Budi Yogi, Syahid Muhammad. Ada pula penulis Puthut EA, Ivan Lanin, Kalis Mardiasih, Bernard Batubara, Aditya Mulya. Begitu juda Marrysa Tunjung Sari, Judith & Genta, Restu Utami Dewi hingga Yusi Avianto Pareanom.
ADVERTISEMENT
Sehingga, selain mendapatkan buku, patjarboekoe mendapat ilmu dari pengalaman idolanya. Antusiasme pun tak pernah surut. Sebagai contoh, sesi Obrolan Patjar dengan Seno Gumira Ajidarma dan Wawan Eko Yulianto membludak dari ekpektasi. ”Kami hanya menyediakan 250 kursi, tapi yang daftar 600 an. Pas acara banyak yang berdiri,” ungkapnya.
Senada, salah satu patjarboekoe asal Malang, Dyah Palupi yang datang bersama kawan-kawannya. Jujur, bagi Palupi, patjarmerah ini berbeda dengan festival lainnya. ”Biasanya kalua di festival atau pameran buku, nyari buku yang diinginkan kebanyakan enggak ada,” jelas penyuka buku social gender ini. Dirinya pun sudah jauh-jauh hari menyiapkan dana untuk membeli buku yang ia cari.
”Hari pertama datang langsung dapet 13 buku, ini kedua kali kesini baru dapat empat,” ungkap wanita berusia 20 tahun ini. Selain itu, dirinya juga beberapa kali mengikuti sesi Obrolan Patjar yang diisi oleh Yusi Avianto Pareanom, penulis novel Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Menurutnya, narasumber yang didatangkan sangat berkualitas. Dirinya pun bakal datang lagi untuk bertemu dan berdiskusi di sesi Obrolan Patjar dengan Ivan Lanin Jumat besok (2/8).
ADVERTISEMENT
Reporter : Muchamad Sadheli
Editor : Irham Thoriq