Ketika Perempuan Mencuci Piringan Hitam di Museum Musik

Konten Media Partner
22 April 2019 17:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah perempuan daru Komunitas Ibu Cerdas Indonesia saat mencuci piringan hitam.(foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah perempuan daru Komunitas Ibu Cerdas Indonesia saat mencuci piringan hitam.(foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG.ID - Museum Musik Indonesia (MMI) memiliki cara unik untuk memperingati Hari Kartini. Sebab, bersama Komunitas Ibu Cerdas Indonesia, pihaknya mencuci ratusan 'harta karun' mereka, yakni harta berbentuk piringan hitam (PH) dari sejumlah musisi perempuan tanah air.
ADVERTISEMENT
Acara yang digelar di Museum Musik Indonesia Jl Nusakambangan Kota Malang pada Senin pagi (22/4/2019). Acara semakin meriah lantaran sebelumnya ada pagelaran musik. Tak hanya itu, untuk memperingati hari lahir penulis buku Habis Gelap Terbitlah Terang tersebut, pihak perempuan dan ibu-ibu lah yang diberikan kepercayaan untuk mencuci dan merawat piringan-piringan vinyl tersebut.
Mereka tampak dengan lembut menyeka satu persatu piringan itu dengan air, membasuh dengan sabun, membilasnya, dan menyeka dengan kain halus piringan-piringan itu.
Beberapa PH musisi perempuan yang termasuk dalam perawatan itu antara lain adalah Diana Nasution dari Sumatera Utara, Elly Kasim (Sumatera Barat), Elvy Sukaesih (Jakarta), Ully Sigar Rusady (Jawa Barat), Waldjinah (Jawa Tengah), Dara Puspita, Ervinna, Arie Koesmiran (Jawa Timur), Titiek Puspa (Kalimantan Selatan), Tari Pendet (Bali), Ingrid Fernandez (NTT) dan Pattie Bersaudara (Maluku).
ADVERTISEMENT
Ketua MMI Henky Herwanto menuturkan bahwa pencucian itu adalah untuk merawat harta karun Indonesia."Kita ingin berpartisipasi menjaga warisan budaya atau Indonesia musik 'heritage' berbentuk piringan hitam karya seniman musik permeouan Indonesia," terang Henky. Ia menjelaskan bahwa ada sekitar 200 piringan hitam yang dicuci.
Ia menuturkan bahwa tradisi mencuci piringan hitam itu adalah untuk merawat agar kualitas musik dalam kepingan itu tetap terjaga."Menjaga, merawat agar tidak rusak. Dan jernih saat didengarkan," imbuh Henky.
Sebab, ia menyebut bahwa piringan hitam adalah harta yang tak ternilai sehingga perlu dilestarikan. "Kami menyadari ini adalah sebuah harta karun. Piringan hitam ini sudah tidak ada lagi pabriknya di Indonesia. Sedangkan produksi terakhir adalah tahun 1985. Jadi ini barang langka, dan harus dilestarikan untuk anak cucu kita," tandas pria berusia 62 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Reporter: Gigih Mazda
Editor : Irham Thoriq