Kisah Gereja dan Masjid di Malang, Saling Berdekatan Menjaga Kerukunan

Konten Media Partner
27 Maret 2019 8:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gereja GPIB Immanuel dan Masjid Agung Jami' Malang yang berada di Jalan Merdeka Barat, Kota Malang. (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
zoom-in-whitePerbesar
Gereja GPIB Immanuel dan Masjid Agung Jami' Malang yang berada di Jalan Merdeka Barat, Kota Malang. (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG.ID - Dalam kampanye di GOR Ken Arok, Kota Malang, Senin (25/3), calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, sempat mengapresiasi kerukunan antarumat beragama di Kota Malang.
ADVERTISEMENT
”Ada gereja GPIB (Gereja Protestan Bagian Barat) Immanuel yang berdempetan dengan Masjid Jami' (Masjid Agung Jami' Malang),” kata Jokowi dalam pidatonya.
”Ini patut ditiru oleh daerah lain,” imbuhnya, disambut gemuruh tepuk tangan ribuan pendukungnya.
Lalu, sebenarnya selain jarak berdempetan yang hanya dipisah sebuah gedung perusahaan asuransi, seperti apa sih potret kerukunan antarumat di dua tempat ibadah ini?
Berdasarkan data yang dihimpun Tugu Malang, fenomena kerukunan di dua rumah ibadah yang ada di Jalan Merdeka Barat, Kota Malang, ini sudah terjadi ratusan tahun silam. Ya, GPIB berdiri pada 1861 atau 158 tahun silam. Sekitar sembilan tahun berselang atau pada 1870-an, Masjid Agung Jami' Malang berdiri.
Ketua II Masjid Agung Jami' Malang, H. Abdul Aziz, mengatakan bahwa kerukunan di dua tempat ibadah ini memang selalu tercipta. "Contoh konkritnya, saat Idul Fitri tepat pada hari Minggu, maka kebaktian di gereja akan dimundurkan, ini bentuk pengertiannya,” kata pria 76 tahun ini kepada Tugu Malang, Rabu (27/3).
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, jika salah satu tempat ibadah ada kegiatan, mereka saling berkirim surat, agar saling mendukung satu sama lain.”Begitu juga ketika kebaktian, biasanya jama’at mereka parkir mobil sampai ke selatan atau sampai depan masjid, itu tidak masalah,” imbuhnya.
”Selain itu, jika gereja ada kerja bakti, kita dari Masjid Jami’ menurunkan personel untuk membantu,” kata pria yang memiliki sebelas cucu ini.
Masjid Agung Jami' Malang (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
Perihal sejarah, Masjid Agung Jami' Malang disebut "Masjid Jami’" karena dulu dibangun oleh Bupati Malang. ”Selain itu, posisinya kan di kompleks pemerintahan, karena kompleks pemerintahannya di Pendopo Kabupaten Malang itu, lalu ada alun-alun di depan masjid yang ada sampai sekarang, lalu ada juga penjara, tapi penjara sekarang sudah jadi mal (Mal Alun-Alun),” katanya.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, Masjid Agung Jami' Malang, kata Abdul Aziz, dikelola oleh Yayasan Masjid Jami’.
Ihwal kerukunan antarumat beragama di dua tempat ibadah ini juga dibenarkan oleh salah seorang Staf GPIB Immanuel, Yopi Latumanise (64). Menurutnya, gereja dan masjid itu memang sering berkirim surat. ”Semisal Masjid Jami’ ada haul (peringatan kematian), maka ibadah minggu kami undur, biasanya diundur satu jam, menyesuaikan dengan acara masjid,” kata Yopi saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (26/3).
Tidak hanya dengan Masjid Agung Jami' Malang, mereka juga bekerja sama dengan Pondok Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyah yang tak jauh dari gereja. Saat pesantren tersebut menggelar haul yang dihadiri puluhan ribu orang, pesantren juga berkirim surat. ”Mungkin agar tidak merasa terganggu kita ya, jadi mereka berkirim surat dulu,” imbuhnya.
Suasana di GPIB Immanuel di Kota Malang, Selasa (27/3). (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
Terkait dengan sejarahnya, Yopi mengatakan bahwa GPIB Immanuel didirikan oleh sejumlah warga Belanda yang tinggal di Malang waktu itu. ”Sejarahnya saat Jepang yang menjajah, yakni pada tahun 1942-1945, gereja ini menjadi gudang beras, mungkin karena orang Jepang yang tidak beragama kristiani, sedangkan sejak merdeka hingga 1948, gereja ini sempat dikelola oleh pemerintah,” katanya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, gereja tersebut dikelola oleh Majelis Sinode, yang merupakan organisasi yang membawahi ratusan gereja GPIB di Indonesia. Kini, GPIB Immanuel kerap didatangi sekitar 600 orang saban Minggu.
Reporter: Irham Thoriq