Cerita Warga Malang yang Merantau ke Oksibil, Papua Barat: Saya Trauma

Konten Media Partner
5 Oktober 2019 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ferina Anisa bersama sang anak Asilah Putri, perantau di Pegunungan Bintang asal Kota Malang disela-sela wawancara di Aula Masjid Baitul Makmur, Kota Malang. foto: Irham Thoriq/tugumalang.id
zoom-in-whitePerbesar
Ferina Anisa bersama sang anak Asilah Putri, perantau di Pegunungan Bintang asal Kota Malang disela-sela wawancara di Aula Masjid Baitul Makmur, Kota Malang. foto: Irham Thoriq/tugumalang.id
ADVERTISEMENT
Kerusuhan di Pegunungan Bintang, Papua Barat, akhir September lalu, tak banyak disorot media. Kendati demikian, kerusuhan yang terjadi di tempat ini, tak kalah mencekamnya daripada di Wamena. Ferina Anisa (21), warga Kota Malang yang merantau ke Pegunungan Bintang, menceritakan detik-detik mencekam pada 26 September 2019.
ADVERTISEMENT
Ferina menggelengkan kepala ketika ditanya apakah mau kembali lagi ke Pegunungan Bintang. "Saya benar-benar trauma, uang bisa dicari, kalau nyawa tidak akan bisa kembali,” katanya, jumat malam (4/10) di Aula Masjid Baitul Makmur, Jalan Bareng Kartini Gang 3/G, Kelurahan Kauman, Klojen, Kota Malang.
Dia lantas bercerita tentang kejadian yang menimpa ratusan orang di Jalan Balusu, Oksibil, Pegunungan Bintang, 26 September lalu itu. Daerah ini adalah salah satu kabupaten terpencil di Papua Barat. Ketika itu, matahari sudah akan terbenam. Kios yang juga menjadi tempat dia tinggal, tiba-tiba digedor oleh tentara. "Kondisi sudah aman, keluar,” kata salah seorang tentara.
Ketika keluar, betapa kagetnya, dia mendapati kios di sampingnya sudah terbakar. Belakangan, dia tahu kalau tentara bilang seperti itu, agar dia berani keluar dan tidak terjebak pada kebakaran. "Awalnya saya kira memang kerusuhan biasa, kalau kerusuhan memang sering tapi perusuh cuma melempar batu saja ke kios, tidak sampai bakar-bakar kayak gini,” imbuh wanita yang sudah lima tahun merantau ke Pegunungan Bintang ini.
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui ruko di tempatnya terbakar, dia langsung menyelamatkan baju-bajunya, sepeda motor, dan lain-lain. "BPKB sepeda motor dan surat nikah tidak terselamatkan, terbakar,” kata istri dari Wildan Indra Prasetyo (23) itu sambil menunjukkan video sejumlah kios yang terbakar.
Tak hanya itu, sembako senilai Rp 15 juta yang berada di kiosnya tidak bisa diselamatkan. "Tapi itu saya masih beruntung, ada orang Bima, Nusa Tenggara Barat yang Rp 600 juta uangnya terbakar, itu uang keuntungan setahun dan uang arisan katanya, memang belum dimasukkan ke bank, setahun sekali dia masukan uangnya ke bank,” imbuhnya.
Usai menyelamatkan barang-barangnya, dia menelepon orang tuanya yang berada di Malang, Muhammad Fauzi (50). ”Saya sambi menyelamatkan diri telepon bapak, tapi telepon mati, tiba-tiba tidak ada signal,” kata alumnus SMKN 11 Kota Malang itu.
ADVERTISEMENT
Untungnya, dia berhasil menyelamatkan diri di masjid. Tak lama setelah itu, sang suami, Wildan Indra, yang bekerja sebagai sopir angkot menyusulnya di masjid itu. Ketika terjadi sore itu, Ferina memang sendiri di kios. Ini karena anaknya, Asilah Putri (4), sudah pulang dulu ke Malang sebulan yang lalu dengan mertuanya.
”Saya memang rencananya tanggal 22 oktober ini pulang ke Malang, tapi rencananya kembali lagi, tapi karena kerusuhan ini tidak akan kembali lagi,” katanya.
Ferina begitu merasakan kejadian mencekam ketika itu. Bagaimana tidak, kios yang mayoritas terbuat dari kayu, dengan mudah dilalap api. Ada sekitar 150 kios yang dilalap api hanya kurang lebih dalam waktu satu jam. ”Kios itu saya sewa, setahun Rp 30 juta, tapi dibayar dengan cara dicicil,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ferina Anisa (kiri), perantau di Pegunungan Bintang asal Kota Malang di sela-sela wawancara di Aula Masjid Baitul Makmur, Kota Malang. foto: Irham Thoriq/tugumalang.id
Usut punya usut, dari informasi yang diterima Ferina, kerusuhan itu berawal dari salah seorang pemabuk yang ditangkap oleh aparat. ”Kelompok mereka tidak terima, mereka bilang, kenapa yang jual minuman keras tidak ditangkap, sedangkan yang mabuk ditangkap,” katanya.
Tapi, dia mengaku ada yang janggal, kenapa waktu itu dengan mudah mereka membakar kios.”Biasanya sering kerusuhan, tapi cuma lempar-lempar batu,” katanya.

Merantau untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Ferina mengakui mencari uang di Pegunungan Bintang cukup mudah. ”Sehari saya jual sembako, bisa dapat Rp 4 juta, kalau sepi Rp 1 juta," ujarnya. "Tapi dapatnya mudah, habisnya juga mudah di sana,” tambahnya lantas tertawa.
ADVERTISEMENT
Hal ini karena barang-barang di tempat tersebut begitu mahal. Dia membandingkan, beras 25 kilogram yang di Jawa sekitar Rp 250.000, di Pegunungan Bintang Rp 800.000. ”Sedangkan bensin Rp 40 ribu satu liter, di SPBU memang sama dengan di Jawa, tapi tidak tentu ada,” katanya.
Selanjutnya, karena kerusuhan itu, dia trauma merantau ke Pegunungan Bintang. Toh, jika dia kembali, harus memulainya dari awal. Ia pun berencana membuka toko di Malang. ”Kalau suami di Malang mungkin tetap jadi sopir,” bebernya.
Dia sendiri dan suami sudah di Malang sejak Kamis (3/10). Dia tiba bersama rombongan lain yang diangkut pesawat hercules.”Sudah bersyukur bisa tiba di Malang dengan selamat,” ucapnya.
Reporter : Irham Thoriq
ADVERTISEMENT