Lulus dari UB, Pemuda di Kediri Pilih Jadi Petani Tebu dan Produsen Gula Merah

Konten Media Partner
29 September 2020 22:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guruh Febriandaru, alumnus Universitas Brawijaya (UB) Malang yang memilih menjadi petani tebu dan produsen gula merah di masa pandemi COVID-19. Foto: Rino Hayyu Setyo
zoom-in-whitePerbesar
Guruh Febriandaru, alumnus Universitas Brawijaya (UB) Malang yang memilih menjadi petani tebu dan produsen gula merah di masa pandemi COVID-19. Foto: Rino Hayyu Setyo
ADVERTISEMENT
Hari Sarjana Nasional jatuh 29 September merupakan momentum untuk mengembalikan marwah Tri Dharma perguruan tinggi. Yakni, tak hanya pengajaran dan penelitian, namun juga wajib melaksanakan pengabdian masyarakat. Apalagi dalam masa pandemi COVID-19, adanya ancaman krisis pangan ke depan harus dijawab oleh generasi muda khususnya para lulusan perguruan tinggi untuk mengabdikan dirinya di masyarakat. Empat hari sebelumnya, juga diperingati sebagai Hari Tani Nasional, maka tantangan bidang pertanian perlu mendapatkan perhatian khusus. Hasil rilis sensus pertanian yang diselenggarakan BPS Jawa Timur 2018 silam, menunjukkan 106.160 lulusan sarjana yang bekerja sebagai petani. Guruh Febriandaru, alumnus Universitas Brawijaya (UB) Malang yang memilih menjadi petani tebu dan produsen gula merah di masa pandemi COVID-19.
Guruh mengecek olahan tebu yang dijadikan gula merah di rumahnya, Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Seperti biasanya, Selasa (29/9) sore di Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Guruh Febriandaru pergi ke sawah garapannya. Ia terlihat santai melakukan pemupukan di lahan tebu miliknya. Guruh, panggilannya, menaburkan pupuk organik dari limbah bakaran ampas tebu. Tak begitu luas tanah garapannya, Guruh hanya merawat 0,5 Ha dari 9 Ha lahan yang dulu dikerjakan Rudianto, ayahnya. “Setelah lulus ya saya langsung jadi petani,” ungkap Guruh. Tepatnya, kata Guruh, mengerjakan lahan secara utuh ini ia mulai 2019 silam.
Hasil gula merah dari olahan tebu. Foto: Rino Hayyu Setyo
Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini bertekad melanjutkan kehidupan bertani seperti yang dijalani ayah dan kakeknya. “Ya seperti pandangan orang, setelah lulus kok malah bertani, lha bagi saya biasa saja wong dari kecil saya juga sudah tahu kegiatan bapak di rumah,” imbuh pemuda 24 tahun ini.
Guruh melihat karyawannya mengolah tebu untuk dijadikan gula merah. Foto: Rino Hayyu Setyo
Dari lahan tersebut, ia bisa menghasilkan 56 ton tebu. Namun, ia tidak langsung menjual tebu tersebut. Hasil panen tebu itu diolah lagi menjadi gula merah. “Ini usaha dari bapak dulu, jadi tebunya saya olah lagi jadi gula merah sehingga nilai ekonomisnya meningkat,” kata Guruh.
Rebusan air tebu yang siap didinginkan untuk dibuat gula merah. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Proses pengangkatan gula merah yang sudah siap dikemas. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Ia benar-benar terlihat sudah terbiasa dengan dunia pertanian, bukan hanya karena latar belakang pendidikan sarjananya, tapi Guruh sudah familiar dengan aktivitas pertanian tebu sejak ia kecil.
Proses pengangkatan gula merah yang sudah siap dikemas. Foto: Rino Hayyu Setyo
Sehingga, ia berniat untuk melanjutkan aktivitas bertani seperti yang dilakukan keluarganya. Menurutnya, meskipun pandemi, bisnis ini bisa bertahan dengan stabil. Permintaan gula merah ini akan dikirim ke Jawa Barat untuk dijadikan bahan baku kecap manis.
Guruh juga menjual gula merah kemasan untuk konsumsi masyarakat sehari-hari. Foto: Rino Hayyu Setyo
Pakar Sosiologi Nilai Perlu Ada Kampanye Pertanian Ketika Pandemi
ADVERTISEMENT
Hal tersebut ditanggapi Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Wahyudi M.Si yang melihat bahwa krisis pangan tersebut juga dibarengi dengan krisis regenerasi petani. Ia menjelaskan jika harus diakui jika generasi petani muda semakin hari semakin berkurang. Permasalahan ini dinilai Wahyu karena adanya stigmatisasi petani merupakan pekerja rendahan. “Masalahnya tidak adanya kepercayaan diri menjadi petani, anggapan masyarakat bertani ialah nganggur,” ungkap Wahyudi. Menurutnya, masalah itu dari tahun ke tahun selalu demikian. Sehingga, perlu ada kampanye masif untuk mengangkat derajat petani Indonesia. Wahyudi berpendapat jika kegiatan bertani bisa dikampanyekan dengan cara lebih muda. Tak hanya di desa, tapi juga di perkotaan. “Artinya kegiatan ini bukan hanya untuk orang desa, tapi daerah urban pun bisa melakukan kegiatan pertanian,” imbuh pria Jawa Tengah ini. Apabila dilihat daerah kondisi geografi, kata Wahyudi, Indonesia masih sangat potensial untuk dikembangkan bidang pertaniannya. “Tidak akan krisis pangan kalau lihat dari wilayah Indonesia,” kata Wahyudi.
ADVERTISEMENT
Ia berharap jika pemerintah bisa lebih berpihak pada kepentingan petani. Karena dengan memperbaiki kebijakan untuk petani, maka akan menjaga ketahanan pangan nasional. Khususnya, ancaman impor dan ketergantungan produk asing. Dengan demikian, Wahyudi menilai akan lahir nasionalis dalam bentuk praksis kepada masyarakat yakni menjaga kedaulatan petani. “harus diutamakan petani kita. Lokalitas harus diperkuat demi ketahanan pangan nasional. Kita bukan benci luar negeri, kita mencintai produk Indonesia dalam misi penyelamatan,” pungkas Wahyudi.