Mahasiswa Menulis | Selimut Kematian

Konten Media Partner
17 Maret 2019 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Cerita Pendek oleh Abdullah*

Ilustrasi super mom oleh soha.vn.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi super mom oleh soha.vn.
ADVERTISEMENT
Selimut pemberian ibu itu masih sering kupakai, meskipun warnanya sudah memudar, lusuh, dan fungsinya pun tak lagi seperti selimut pada umumnya. Namun, tetap ingin kupakai sebagai satu-satunya peninggalan ibu yang masih tersisa atas kesalahan masa laluku.
ADVERTISEMENT
Sore hari terlihat keramaian kota kian sepi. Lalu-lalang orang-orang di depan rumah nyaris tak tampak seperti biasanya. Entah pada ke mana semua orang? Mungkin karena seharian kota yang diguyur hujan, orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah masing-masing, duduk santai, ditemani secangkir kopi sambil mendengarkan isu-isu terhangat politik negeri.
Apakah benar, lantaran hujan seketika mampu membuat penduduk kota malas beraktivitas? Jika memang begitu! Aku berandai sebisa mungkin hujan meredam sebuah perang yang tak kunjung usai di Timur Tengah. Atau paling tidak, hujan mampu membuat perang rehat sejenak, sebelum kembali 'tuk bertempur.
Nyatanya tidak. Hujan tak bisa menghentikan perang begitu saja. Perang tetap perang yang tak ada habisnya.
Terhitung sudah satu tahun lebih aku tinggal di kota ini. Kota dingin, kebanyakan orang-orang menyebutnya. Sebuah kota dengan suhu yang bagiku lumayan ekstrem. Apalagi awal-awal menginjakkan kaki di kota ini. Tatkala malam hari datang, keganasan dinginnya kota seolah mencekam. Di kota ini perang mungkin tak akan terjadi, atau kota ini tak gampang diperebutkan seperti kota-kota luar sana.
ADVERTISEMENT
Memoar tentang ibu tiba-tiba saja datang, bersamaan dengan rasa bersalahku yang seakan bertempur--anak kurang ajar, anak durhaka. Begitulah kerap kali ketika bayangan ibu hadir tak sengaja. Entah itu hanya perasaanku semata, atau ada isyarat lain yang sampai kini aku pun belum tahu maksudnya. Mungkin ada kaitannya dengan keegoisanku menentang restu ibu untuk bisa kuliah di kota ini.
***
Malam pekat begitu saja telah menjadi pemandangan biasa di kampung. Sepi. Desaku jauh dari keramaian kota. Tak ada yang istimewa. Paling-paling hanya nyanyian binatang jalar yang setiap malam menghempas kesunyian di pinggir-pinggir permukiman penduduk desa.
Jika di kota, jam-jam seperti sekarang masih ramai dengan orang-orang menikmati jalanan, terbalik seratus derajat dengan desaku. Selepas salat isya, biasanya orang-orang segara mungkin langsung melentangkan badannya ke ranjang kamar. Menghilangkan penat, atau supaya hari esok mereka bisa bangun dengan cepat, dan kembali dengan kesibukannya menjadi petani.
ADVERTISEMENT
Ibuk. Dua minggu lagi aku berangkat ke Malang,” ucapku memberanikan diri. Saat itu kami sedang berlangsung makan malam.
Aku yang sudah dinyatakan lulus masuk salah-satu perguruan tinggi di Kota Malang, mengharuskan berangkat dua minggu lagi. Aku lolos tes seleksi SNMPTN yang dilakukan beberapa bulan yang lalu. Memang sengaja aku tak pernah memberi tahu ibu. Aku tak mau ibu marah.
Seketika, ruang makan berubah sunyi. Aku yang duduk di samping kakak hanya bisa tertunduk layu. Kudapati ibu semakin lesu. Wajahnya mengkerut lebih dalam. Mungkin dalam benaknya merasa terpukul mendengar ucapanku barusan. Seolah ada panah tajam tiba-tiba menusuk batinnya.
Sebelumnya, ibu tak pernah suka jika aku membahas tetang itu. Ibu tetap tak merestui kalau aku harus pergi meninggalkan ia untuk sekian kalinya. Apalagi untuk waktu yang lumayan lama. Mungkin setahun sekali atau bahkan lebih untuk bisa pulang kampung menemui ibu.
ADVERTISEMENT
Memang, semenjak sekolah dasar aku sudah jarang pulang ke rumah. Malas saja bila harus pulang dengan jarak yang kutempuh begitu jauh. Butuh waktu berjam-jam, menyusuri lereng-lereng pegunungan yang terjal. Itu pun kalau hujan tidak turun secara tiba-tiba, aku harus berlarian secepat mungkin mencari tempat untuk berteduh. Sering kali, aku pulang dengan badan dan baju basah kuyup.
Makanya, aku lebih suka pulang ke tempat nenek. Bahkan sampai berminggu-minggu di sana. Kebetulan tempat sekolahku satu desa dengan rumah nenek.
Tanpa menghabiskan makanannya, ibu bergegas meninggalkan kami. Aku tahu ibu kecewa, sedangkan aku masih dengan sikap yang sediakala. Tak ada sepatah kata pun yang kuucapkan kembali selepas itu. Entah apa yang telah aku perbuat. Memaksakan kehendak sama halnya aku telah melukai hati Ibu.
ADVERTISEMENT
Apa perlu kuurungkan niat untuk kuliah di luar kota, mengorbankan jerih payahku selama ini mengikuti serangkaian tes masuk perguruan tinggi?
“Sudah-sudah, jangan terlalu dipikir. Saya nanti yang akan ngomong sama ibu,” kata Ayah coba menetralkan keadaan
Kami pun melanjutkan makan malam yang begitu sederhana. Terasa tak berselera selepas kejadian tadi. Tumis kangkung andalan ibu pun nyaris tak kesentuh sama sekali, yang biasanya selalu habis. Hanya bapak yang mengambilnya. Itu pun hanya sedikit.
Kuliah ke luar kota memang menjadi cita-citaku sejak kecil. Bapak juga tahu kalau aku punya keinginan besar untuk itu. Tiap kali ada waktu luang, pas bapak lagi santai, aku sering bercerita, berangan-angan, meluapkan semua keinginanku tuk menjadi orang sukses. Bisa membawa bapak dan ibu berangkat haji.
ADVERTISEMENT
Persis, saat aku mendengar ketika keduanya berdoa sambil menangis tersedu-sedu dalam salat-salat malamnya. Mereka sangat berharap bisa berangkat ke tanah Makkah: mencium Kakbah dan berziarah ke makam para nabi dan rasul di sana.
Namun, letak permasalahannya terdapat pada ibu. Buatku restu ibu sangat penting. Bagaimana mungkin aku bisa berangkat, sedangkan ibu tetap tidak menyetujui?
Aku tak ingin menjadi anak durhaka. Aku tak ingin jika kepergiaanku membuat ibu harus kenapa-kenapa.
Apalagi, membayangkan sesuatu hal yang akan terjadi dengan kesehatan ibu. Ibu sedang mempunyai penyakit bawaan yang kapan saja bisa kambuh tak terduga. Dan bagi anak yang sudah belajar ilmu agama, doa seorang ibu adalah hal yang harus diutamakan.
Entah 'angin' apa yang telah bapak tiupkan kepada ibu. Tepat satu hari keberangkatanku ke Kota Malang, kata Bapak, ibu telah setuju. Dan memperbolehkan aku berangkat esoknya.
ADVERTISEMENT
“Ibu sudah ngomong ke bapak, dan besok saya yang akan mengantarkan kamu ke Terminal,” kata bapak. Ada yang mengganjal sebenarnya dalam benakku, kenapa ibu enggak bilang sendiri?
Benar saja firasatku. Ibu tak sepenuhnya ikhlas memberi restu. Buktinya, ibu tidak ikut mengantarkan. Hanya menunggu dekat pagar rumah.
Kupandangi ibu sebentar. Kelopak matanya mulai berkaca-kaca. Tatapannya kosong. Sambil menyodorkan sebuah selimut yang dibeli hasil uang pinjaman tetangga sehari sebelumnya, ibu berkata, “Baik-baik di sana”. Hanya kata itu yang kudengar dari ibu pagi itu. Bersamaan dengan tangisan, aku mulai menjauh dari pandangan ibu.
Akhirnya aku tiba. Layaknya orang baru, aku tak mengenal siapa-siapa di kota. Dari stasiun aku langsung naik angkot untuk sampai di asrama kampus. Kebijakan pihak kampus untuk mahasiswa baru diharuskan tinggal satu tahun di asrama yang sudah disediakan. Dengan begitu, aku juga merasa terbantu, tidak susah-susah lagi mencari-cari masjid, ataupun kos-kosan yang harus mengeluarkan uang buat tinggal selama satu tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Sesuai julukannnya, kota ini sungguh dingin. Apalagi bagi pendatang baru sepertiku. Di saat keganasan kota menyerang, selimut pemberian ibu menjadi satu-satunya pelindung. Barangkali, ibu sudah tahu bahwa aku akan bertarung melawan suhu dingin yang menjadi ciri khas kota ini.
Satu tahun berlalu. Aku sudah mampu bertahan. Banyak hal yang sudah kukalahkan di kota ini. Hanya sebuah rasa rindu terhadap ibu yang tak bisa kulawan. Tapi aku ingat pesan bapak, aku tak boleh menghubungi orang rumah selama masih ada di kota.
Hingga suatu malam, tiba-tiba bapak sendiri yang meneleponku. Ibu sudah meninggal 2 bulan semenjak keberangkatanku. Penyakitnya kambuh. Begitu kabarnya.
Aku tak habis pikir terhadap bapak, bisa-bisanya tak memberi tahu. Ia tak ingin pelajaranku terganggu, "toh semua sudah takdir Tuhan," kata Bapak. Aku sangat terpukul atas kepergiaan ibu. Karena orang yang mesti disalahkan dalam soal ini jelas-jelas, aku. Andai saja, aku tidak terus-terusan memaksa bapak untuk mendesak restu ibu, mungkin kejadiannya tidak seperti ini.
ADVERTISEMENT
“Andra. Gimana? Hujannya belum kunjung reda. Bisa gagal lagi kita ke rumah Pak Agung,” suara Bagas seketika membuyarkan ingatan tentang ibu.
Mataku masih terpejam basah. Lamunanku belum sepenuhnya menghilang. Dan untuk tidak ketahuan Bagas, aku langsung beranjak dan seolah-olah melihat ke arah luar. Memang tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
“Sepertinya besok kita ke sana.” Bagas menyadari bahwa aku lagi sedih. Makanya, ia tidak banyak tanya lagi, yang biasanya begitu nyerocos. Ia bergegas mengambil tas dan kembali ke kamarnya. Semenjak kejadian itu, aku sering melamun sendiri.
Terdengar jelas gemuruh air hujan di luar rumah begitu keras. Terus-terusan mengoyak jalanan beraspal. Tampak terlampau berhasil dengan lubang-lubang yang selalu tercipta. Ditandai dengan genangan air yang sewaktu-waktu bisa membuat pengendara jatuh terkapar.
ADVERTISEMENT
Hujan memang sengaja turun dengan begitu lebatnya. Barangkali, sebagai ajang balas dendam karena untuk beberapa hari belakangan ini hujan mulai jarang datang untuk membasahi kota. Bahkan pernah satu minggu tak ada hujan sekalipun, meski sekarang sudah memasuki musim penghujan.
Ya, begitulah memang kuasa Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa merenungi atas ketidakmampuan menjangkau kehendak-Nya. Lagian, kuasa-Nya kadang tidak bisa dirasionalisasikan dengan akal sehat manusia pada umummnya.
Di rumah kontrakan berlantai dua ini, tersisa aku sama Bagas. Empat temanku yang lain sudah pada pulang kampung satu hari yang lalu. Kami juga ingin cepat pulang. Masalahnya, nilai mata kuliah kita ada yang masih tertunda.
Padahal, kami merasa sudah ikut ujian akhir semester dan mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan Dosen. Pasti ada yang salah. Sebelum pulang kita sepakat untuk mengklarifikasi terlebih dulu. Kita yakin ini ada kesalahan. Entah, dari pihak kampus ataupun dari Pak Agung selaku Dosen pengajar mata kuliah itu.
ADVERTISEMENT
Aku mengenal Bagas sudah satu tahun lalu. Saat kami masih menjadi mahasiswa baru. Kebetulan kami juga satu organisasi. Sama-sama pencinta teater kesenian dan dunia kepenulisan. Aku memang hobi menulis sejak di bangku sekolah. Kulanjutkan kegemaran itu dengan mengikuti organisasi kepenulisan. Penambah wawasan.
Sedangkan Andra lebih suka teater dan keseniannya. Dalam memperagakan karakter tokoh-tokoh hebat sudah tak diragukan. Kepiawaiannya dalam berakting kerap membuat orang-orang kejab kagum terhadapnya. Sesekali, ia diundang untuk mengisi di acara-acara resmi, maupun kegiatan-kegiatan kecil di kampus.
Dan tampaknya langit Malang mulai berdesis. Memperlihatkan bahwa malam ini ia akan kembali mengancam. Hawa dingin yang menyengat seakan segara ia tunjukkan terhadap orang-orang yang ada di wilayahnya, macam tak ingin dianggap remeh.
ADVERTISEMENT
Waktu-waktu seperti ini seringkali aku teringat tentang ibu. Seolah-olah ibu datang bersamaan dengan selimut pemberiannya tuk menghakimi kesalahanku tempo hari.
Foto penulis. dokumen.
*Penulis kelahiran Sampang 28-05-1997. Sekarang menjadi Mahasiswa Agribisnis Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang. Pernah menjadi Reporter dan layouter Pers kampus dan sekarang Penggiat Gerakan Literasi Country. Kegemararannya mendaki Gunung.Bisa dihubungi lewat Via : 083852980246
---
Catatan: tulisan ini merupakan bagian dari program Mahasiswa Menulis, yang diselenggarakan oleh Tugumalang.id. Berikut informasi detail tentang program ini: