Mengkritisi Praksis Pendidikan Kita

Konten Media Partner
7 Juni 2020 17:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penulis. Foto: dok.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis. Foto: dok.
ADVERTISEMENT
Oleh: Dr Aries Musnandar - Pengamat Pendidikan dan Ketua Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam Pascasarjana Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang.
ADVERTISEMENT
Fenomena perilaku menyimpang seperti bullying, aksi anarkis, tawuran massal, kriminalitas, dan perbuatan korupsi di negeri ini mengindikasikan lemahnya karakter bangsa. Ibarat puncak gunung es berbagai persoalan sosial tersebut secara kuantitatif bisa jadi lebih besar dari yang terungkap. Oleh sebab itu, tidak sedikit kalangan mensinyalir telah terjadi degradasi moral dan merupakan gejala memburuknya akhlak manusia Indonesia. Kondisi tersebut sedikit banyak dipahami sebagai ekses keterpurukan kinerja sistem pendidikan nasional.
Pendidikan sebenarnya bagian penting dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, tetapi secara masif ternyata pendidikan kita belum mampu menghasilkan sosok anak bangsa berbudi pekerti dan berakhlak luhur. Padahal, UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik, terutamanya, agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Tujuan utuh pendidikan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 2003 itu telah dikembangkan menjadi lebih lengkap dari UUSPN tahun sebelumnya (1989, dan 1954). Namun, keterwujudannya masih jauh dari harapan karena menurut T Raka Joni (2005) praksis di lapangan terpaku pada penerusan informasi yakni berupa kemampuan menghafal. Bahkan, tidak jarang merosot lagi menjadi tidak lebih dari sekedar content transmission (pemberitaan isi buku teks). Padahal, kegiatan menghafal yang sekedar menuntut perolehan pengetahuan masih berada dalam kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills).
Ilustrasi pendidikan. Foto: Pixabay.
Selanjutnya, dalam khasanah evaluasi pembelajaran disamping penilaian dalam ranah kognitif terdapat penilaian dalam ranah afektif yang terkait moral, etika dan nilai-nilai luhur manusia. Berdasarkan tujuan utuh pendidikan mestinya kedua aspek ini menjadi kesatuan kemampuan yang dimiliki pebelajar (siswa/mahasiswa). Kemampuan berpikir kognitif bisa diukur paling tidak melalui berbagai ujian-tes tertulis (paper and pencil tests), sedangkan ranah afektif amat khas, tidak cukup diukur melalui tes tertulis semata, karena bersifat tampak (moral action).
ADVERTISEMENT
Dari sudut ketercapaian tujuan pendidikan terungkap bahwa praksis pembelajaran di sekolah lebih fokus pada ranah kognitif dibandingkan ranah afektif. Para guru, kepala sekolah bahkan pemangku kebijakan pendidikan sama-sama memiliki paradigma yang telah tertanam cukup kuat atas kebanggaan mereka pada prestasi akademik dan kecerdasan kognitif. Daniel Goleman (1995) menempatkan IQ dan atau kecakapan intelektual sebagai representasi dari domain kecerdasan kognitif, sedangkan kecakapan emosional berada dalam ranah afektif.
Setelah melakukan pengamatan cukup lama, Goleman menyimpulkan akar permasalahan dalam sisi kehidupan di rumah tangga, di sekolah dan di tempat kerja bukan terletak pada IQ (kecakapan intelektual) melainkan akibat ketumpulan emosional. Temuan ini memiliki irisan dengan teori kecerdasan majemuk Howard Gardner (1993, 1999) yang mencetuskan gagasan pembelajaran multi-jalur (multiple ways of knowing) dan juga sejalan dengan teori Inteligensi Triarkik yang berupa sinergitas kemampuan berpikir analitik, sintetik dan praktikal (Robert Sternberg 1985; 1995; dan 2003).
ADVERTISEMENT
Goleman menyatakan kecakapan emosional (non akademik) menyumbang lebih 80 persen dalam menentukan tingkat keberhasilan performa (prestasi unjuk kerja) seseorang di rumah tangga, sekolah dan di tempat kerja. Sedangkan kemampuan akademik (intelektual, kognitif) memiliki andil tidak lebih dari 20% saja. Padahal banyak kalangan berpersepsi bahwa sekolah favorit diukur dari kegiatan dan capaian akademik.
Semakin tinggi prestasi akademik dianggap semakin bagus sekolah tersebut. Inilah paradigma yang berkembang tidak saja di lingkungan sekolah tetapi terlanjur menjalar ke masyarakat secara luas. Paradigma seperti ini membuat pembelajaran di sekolah kita cenderung memprioritaskan kemampuan berpikir kognitif dan daya intelektual siswa. Lalu, evaluasi kemampuan belajar siswa hanya dilakukan melalui tes-tes tulis semacam ujian nasional (UN). Padahal, tes tulis sebagai alat ukur ketercapaian belajar bersifat parsial, hanya mengukur ranah kognitif.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, UN dan tes-tes tulis sejenis cenderung hanya menagih hafalan. Strategi pra-test post test yang biasa dilakukan guru di sekolah dalam mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dari setiap pertemuan sesungguhnya masih potongan -potongan informasi berupa hafalan. Bukti ketercapaian tujuan dalam rentang waktu 1-2 jam yang diperoleh melalui tes-tes tersebut sangat naif untuk dapat dikatakan memiliki kedalaman makna. Kenyataannya, penilaian capaian belajar siswa di sekolah-sekolah masih belum disusun berdasarkan evaluasi yang lengkap, menyeluruh dan tepat (a proper portfolio performance evaluation).
Goleman dan Gardner sama-sama mengelaborasi kecerdasan emosional sebagai kecakapan personal yang mengelola kecakapan intra dan inter-personal seseorang. Penguasaan emosional yang baik dapat membuat seseorang lebih manusiawi dan arif. Individu yang kurang memiliki kendali diri, di antaranya akan melahirkan sikap ketidak-pekaan sosial. Ini berarti terdapat ketumpulan pada kecerdasan emosional, sehingga kecakapan personal orang tersebut menjadi bermasalah.
ADVERTISEMENT
Kemampuan akademik berada dalam kecerdasan kognitif yang menjunjung daya intelektual dikenal sebagai hard skills, sedangkan kecerdasan emosional atau kecakapan personal dalam ranah afektif itu populer dengan sebutan soft skills. Meskipun kemampuan akademik (hard skills) tetap penting, namun para guru dan kepala sekolah patut menaruh perhatian lebih serius pada pengembangan soft skills di sekolah.
Terlebih lagi beberapa hasil penelitian di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) menunjukkan bahwa pendidikan soft skills (SS) yang dilakukan dalam satu periode tertentu akan berkorelasi signifikan pada kualitas kemampuan akademik siswa (Aries Musnandar, 2016). Melalui program pendidikan SS yang terencana, tepat, dan holistik akan mewujudkan kemampuan akademik lebih baik.
Dalam pencapaian unjuk kerja (achieved performance) istilah soft skills lebih sering digunakan ketimbang kecakapan emosional. Padanan diametral makna istilah soft skills adalah hard skills. Keduanya memang saling kontras namun perlu diintegrasikan sedemikian rupa ke dalam mata pelajaran yang diajarkan. (the integration between hard and soft skills across discipline)
ADVERTISEMENT
Soft skills (SS) tidak semata-mata berwujud kemampuan berkomunikasi secara langsung dengan orang lain, tetapi juga berupa kemampuan menampilkan diri secara maksimal serta memberi kesan positif kepada orang lain yang berinteraksi dengannya.
Temuan penelitian lain menunjukkan guru yang telah mengikuti program pelatihan SS dan memiliki persepsi benar tentang SS berdampak positif dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi akademik. Artinya, apabila SS dan hard skills (kompetensi teknis) dijalin bersama dalam tiap matapelajaran maka akan bisa menghasilkan capaian unjuk kerja dan prestasi akademik lebih baik (lihat hasil riset Aries Musnandar, 2016). Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, penerapan pembelajaran pendidikan holistik berbasis SS (Soft Skilss Based Holistic Education) di sekolah suatu keniscayaan untuk segera dilakukan.(*)
ADVERTISEMENT