Menyelami Alam Ghaib Penghuni Terminal

Konten Media Partner
16 Juli 2019 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nuruddin, penilis artikel. (olah foto : tim desain tugumalang.id).
Oleh Nurudin
Saya sudah lama tidak ke terminal untuk naik bis. Saya harus ke Jepara untuk mengisi acara “Workshop Penulisan Buku Teks” yang diselenggarakan oleh Program Studi Administrasi Bisnis,  FISIP, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang (10/7/19). Pilihannya satu,  saya naik bis.
ADVERTISEMENT
Saat berada di jalur 20 dan 21 terminal Purabaya, Surabaya saya meneukan kasus unik. Kasus unik ini mungkin sudah lazim bagi mereka yang biasa naik bis dari terminal. Tapi bagi saya tidak. Seperti biasanya para Juru Penumpang (Jupang)  atau mandor berebut calon penumpang.  Bahkan beberapa mandor terkesan marah-marah jika ada penumpang yang tidak berhasil untuk dirayu, lalu menyalahkan.  Ada juga penumpang yang diperlakukan kasar saat kebingungan memilih bis.  Penumpang bingung sementara Jupang terus merayu.  Kejadian itu terus berulang. 
Saya berpikir jangan-jangan kegiatan itu dilakukan Jupang setiap saat meski berbeda calon penumpang? Tentu saya tidak memukul rata bahwa semua Jupang seperti itu.  Tetapi pemandangan tersebut bisa jadi lazim kita lihat di terminal bis.  Yakni rebutan penumpang,  marah, tak sabar,  dan mau menang sendiri
ADVERTISEMENT
Saya bisa paham karena itu menyangkut hajat hidup,  tentu saja hajat hidup para Jupang.  Tetapi apakah harus mengorbankan hak calon penumpang?

Sifat Orang Indonesia

Pertanyaanya apakah memang sifat asli masyarakat kita seperti itu?  Apakah kondisi dan gambaran di terminal menjadi analogi kenyataan masyakakat kita secara keseluruhan? Inilah yang akan kita diskusikan dalan tulisan ini.
Terminal adalah kumunitas kecil dengan ciri tersendiri. Tentu terminal berbeda dengan bandara. Bukan untuk mengatakan bahwa terminal hanya dipakai oleh masyarakat kebanyakan.  Bukan mengatakan pula bahwa terminal dihuni oleh mereka yang berbudaya rendah.  Tidak itu. Sementara bandara dipakai oleh mereka yang terpelajar dan kaya.  Juga bukan ini.
ADVERTISEMENT
Bandara dan terminal bisa jadi akan sama.  Hanya aturan dalam bandara sedemikian ketat sehingga jika ada pelanggaran akan disanksi tegas.  Apakah di terminal tidak?  Tetap ada aturan.  Hanya saja terkesan longgar. Orang bisa berteriak-teriak di terminal tetapi akan “aneh” jika di bandara.
Contoh kasus lain. Di terminal para penumpang, sopir, jupang, penjual asongan buang sampah sembarangan tanpa malu-malu.  Sementara itu di bandara lebih tertib.  Mengapa begitu?  Karena sistem aturan di bandara ditegakkan lebih keras.  Sanksi juga bisa dijatuhkan dengan baik.  Dalam hal ini kumunitas bandara bisa lebih tertib.  Bukan soal kaya dan terpelajar dari “penghuninya”.
Coba seandainya di bandara tidak ada sanksi tegas bahkan tidak ada CCTV yang ikut memantaunya? Sementara di terminal da CCTV dan yang melanggar disanksi tegas?  Hasilnya tentu akan beda. Ini berkaitan dengan penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Kembali ke soal terminal.  Apakah yang dilakukan para Jupang itu terminal mecerminkan manusia Indonesia?  Pada prinsipnya manusia Indonesia akan bisa berbuat buruk manakala tidak ada sistem hukum yang mengatur.  Orang kaya dan terpelajar belum tentu mau buang sampah pada tempatnya.  Jangan-jangan mereka hanya takut pada CCTV dan direkam lalu disebar di media sosial? Bisa jadi soal ini.
Saya kemudian diingatkan pada pendapat Mochtar Lubis tentang ciri manusia Indonesia. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, ia pernah mengemukakan beberapa ciri manusia Indonesia. Tentu saja kriteria yang dimaksudkan untuk mengkritisi itu menimbulkan tanggapam beragam. 
Beberapa diantaranya manusia Indonesia punya sifat hipokrisi/munafik, enggan bertanggung jawab dan kurang sabar.  Tentu saja ada sifat baik seperti toleran dan sebagainya  Namun untuk urusan yang baik memang harus terus dipupuk dan dipelihara.  Dalam hal ini kita tak perlu mempermasalahkan dan membahasnya.  Yang justru menarik adalah sifat-sifat buruk di atas.
ADVERTISEMENT
Munafik atau hipokrit melekat pada diri manusia Indonesia.  Misalnya seseorang di depan orang banyak mengecam sementara dia justru mendukung apa yang dikecam itu.  Di depan alim,  di belakang justru terlibat langsung tindakan tidak baik.  Dalam hal ini antara yang dikatakan dengan perbuatan sering beda.  Inilah hipokrit itu. Politisi bisa menyeru soal amar ma’ruf nahi munkar, di sisi lain ia justru memberikan andil atau menganjurkan amar munkar nahi ma’ruf.
Politisi kita mencerminkan perilaku ini.  Bahkan para pejabat kita dalam beberapa hal juga tak jauh berbeda.  Apalagi pejabat yang berasal dari polititi atau mewakili kepentingan dari politisi tertentu/kelompok kepentingan tertentu. 
Tak terkecuali orang biasa berteriak berantas korupsi,  namun dia sendiri melakukan korupsi.  Bisa jadi, dia senang menerima suap atau memberikan kelonggaran terjadinya korupsi. Jadi apa yang dikatakan dengan perbuatan seringkali beda.  Kita dikenal sebagai bangsa yang berbudaya baik,  namun dalam perilakunya seringkali justru sebaliknya.  Bangsa yang santun memang, tetapi ternyata "penghisab darah" bangsanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sifat lain adakah tak bertanggung jawab.  Sifat ini tercermin pada perilaku lempar tanggung jawab.  Sejarah bangsa ini banyak memberikan contoh menarik.  Pada masa Orde Baru (Orba), setiap kejadian yang harus ditanggung oleh para pemimpinya dilempar ke bawahan. Giliran menguntungkan akan diklaim sebagai kinerjanya.  Coba kita amati berbagai perilaku dalam kehidupan sekitar kita saat seorang diberikan tanggung jawab.  Adakah pemimpin di sekitar kita seperti itu? Tak sedikit mereka yang senang lempar tanggung jawab? Bahkan antara presiden dengan menterinya saja sering berbeda haluan. Sementara menteri itu “pembantu” presiden.
Sifat lainnya adalah kurang sabar, menggerutu,  dan cepat dengki. Lihat berbagai keinginan masyarakat.  Masyarakat ingin perubahan cepat.  Pemerintah dikritik habis-habisan. Tidak masalah.  Namun mengelola negara juga tak semudah memimpin dasa wisma. Ada banyak tali temali yang mengitarinya.  Ada banyak kepentingan.  Bisa jadi masyarakat protes karena pemerintah lamban. 
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu lama sistem pemerintahan di Indonesia ini dikelola secara politis.  Jadi kepentingan poliik sering dijadikan pertimbangan awal dalam setiap keputusan.  Pemerintah bisa jadi kurang cepat bekerja, namun masyarakat mungkin tidak sabar.
Lalu mudah menggerutu.  Ini berkaitan dengan  hal-hal yang  diinginkan tak mudah tercapai. Menggerutu ini jika dibiarkan akan menumpuk dan menimbulkan kekecewaan.  Kemudian muncul bibit ketidakpuasan yang buntutnya konflik fisik.  Apalagi jika gerutunya itu lebih karena kepentingan pribadi dan kelompoknya tidak  tercapai,  bukan pada tak memenuhi kehendak mayoritas. 

Terminal adalah Alam Politik Kita

Bagaimana dengan fenomena yang ada di terminal?  Sedikit banyak mencerminkan manusia Indonesia pada umumnya.  Bisa saja perilaku seseorang tak menyerupai persis orang-orang yang ada di terminal.  Tetapi saat seseorang berada dalam kondisi seperti situasi di terminal sangat mungkin perikaku sebenarnya seseorang terlihat.  Namun orang-orang terminal mencerminkan perilaku sebenarnya,  tak sabaran,  gampang marah,  mau menang sendiri.  Sementara masyarakat umum jangan-jangan berperilaku sama hanya dibungkus indah, tapi perilakunya tetap sama.
ADVERTISEMENT
Atau seorang politisi yang menunjukkan perhatian,  iba,  empati, peduli jika dilihat secara fisimk.  Namun perilaku sebenarnya justru sebaliknya. Jadi sebelum mengklaim sebagai oramg yang ideal berkacalah pada orang-orang terminal.  Jangan-jangan sifat kita sama hanya kadang kita bungkus dengan "rapi". Atau bisa jadi perilaku kita lebih buruk dari orang-orang terminal tersebut? Anggap saja terminal itu wilayah ghaib yang tak perlu dijadikan contoh dalam mengelola negara.
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa dihubungi di twitter/IG: nurudinwriter
ADVERTISEMENT