news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

New Normal, Peluang Terjadi Pandemi Gelombang Kedua?

Konten Media Partner
13 Juni 2020 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi New Normal. Foto: Rizal Adhi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi New Normal. Foto: Rizal Adhi.
ADVERTISEMENT
Oleh: M Sasmito Djati - Guru Besar Biologi Molekuler FMIPA Universitas Brawijaya.
ADVERTISEMENT
Isu-isu tentang New Normal pada akhir-akhir ini menjadi sangat hangat dalam wacana publik. Terutama apabila berdiskusi bagaimana kita semua menghadapi pandemi COVID-19. Berbagai komentator melalui media masa maupun medsos. Mereka berkomentar sesuai dengan pemahaman dan kepentingan masing-masing dan bahkan beberapa menjurus sesuai dengan kepentingan politik masing-masing. Sehingga pemahaman masyarakat tentang New Normal menjadi sangat bias. Menjadi sangat menarik karena yang menyampaikan adalah tokoh-tokoh politik. Apalagi istilah tersebut relatif baru di masyarakat awam. Apabila kita maknai apa sebenarnya pemahaman New Normal sebagai sebuah keadaan tertentu dari perubahan-perubahan alam ataukah sebagai sebuah kebijakan publik?
Sebenarnya apa itu New Normal? Pada hakekatnya, New Normal adalah satu keadaan dinamika alamiah biasa ketika alam ini mengalami tekanan atau ketidaksetimbangan akibat bencana alam, wabah, atau tekanan lain yang mengubah suatu kesetimbangan alam, ketika alam itu mengalami tidak setimbangan maka alam secara alamiah berusaha untuk mencapai keadaan kesetimbangan lagi, yaitu berupa kesetimbangan baru, hal ini sudah merupakan hukum alam biasa dan pasti terjadi dialam ini, sebenarnya tanpa kebijakan apapun oleh penguasa suatu negara ataupun dunia, kesetimbangan baru pasti terjadi.
ADVERTISEMENT
Di dalam ilmu biologi kesetimbangan alam ini sering disebut homeostatis. Merupakan dinamika kesetimbangan alam yang berlangsung secara terus menerus, sampai terjadi kiamat. Peristiwa homesostatis selalu terjadi baik di makro environmental seperti jagad raya maupun mikro environmental dalam tubuh manusia, pada tubuh manusia ketika sakit pada prinsipnya tubuh manusia mengalami tekanan yang diakibatkan sakit tersebut, tubuh kita secara alamiah berusaha melakukan penyembuhan diri sendiri, dengan berbagai cara, antara lain bila sakitnya berupa penyakit infeksi maka sistem kekebalan (imun sistem) tubuh kita akan bekerja keras untuk menjaga dan mempertahankan diri manusia yang sakit tersebut, sampai akhirnya manusia yang sakit tersebut sehat kembali. Sehat kembali itu berarti sipenderita dapat hidup secara normal kembali, hidup normal kembali tersebut merupakan kesetimbangan baru, dalam tubuhnya. Dapat juga hal ini juga dapat dijelaskan menurut hukum kesetimbangan alam dan kekekalan energi yaitu termodinamika I dan II dimana alam selalu terjadi perubahan-perubahan energi dalam setiap perubahan energi selalu diikuti dengan kesetimbangan baru, hukum termodinamika ini merupakan Grand theori. Sampai hari ini dalam dunia sains dan para ilmuwan belum ada yang bisa membantahnya, dan berlaku di seluruh jagad raya ini, tidak ada satu mahlukpun yang bisa lepas dari hukum ini.
Penulis.
Kesetimbangan baru ini yang akhir-akhir ini diistilahkan dengan New Normal, dimana apabila kehidupan manusia yang sebelum terjadinya pandemi COVID-19 adalah sebuah fenomena kesetimbangan yang kalau kita anggap sebagai kehidupan normal maka setelah manusia banyak melakukan usaha-usaha menanggulangi wabah ini dengan cara fully lock down atau partially lock down. Kalau di Indonesia sering disebut PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Seharusnya hasilnya adalah penurunan jumlah pasien positif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Hampir semua negara di dunia ini, menggunakan 2 metode ini untuk mencoba menanggulangi pandemi COVID-19 ini. Termasuk negara kita Indonesia. Ketika manusia melakukan kebijakan fully atau partially lock down, kebijakan ini ibarat bila bumi ini seorang manusia dia sedang sakit, diserang penyakit infeksi, datang ke dokter maka dokter melakukan tindakan dengan mengobati pasien dengan cara mengurangi gejala sakit dari pasien tetapi belum menyembuhkan pasien, agar supaya pasien bisa terasa nyaman dan bisa melakukan aktifitas-aktifitas kesehariannya, tetapi sayangnya dokter memang belum tahu obatnya apa?
Pertanyaan sederhana mengapa manusia belum menemukan obat atau vaksinnya? Seperti kita semua ketahui bahwa COVID-19 pada prinsipnya adalah new emerging deseas. Semua ahli virologi tahu bahwa COVID-19 adalah mutan dari virus RNA virus corona. Dimana di alam ini, sudah ada lebih dari 30 spesies dari family virus ini. Virus ini merupakan mutan dari virus corona yang hostnya adalah kelelawar dan virus ini dapat hidup diinduk semang baru yaitu manusia. Karena virus ini merupakan virus spesies baru maka pada hakekatnya manusia tidak tahu apa-apa tentang virus ini, teori-teori yang digunakan pada prinsipnya adalah teori umum tentang virus corona bukan teori khusus tentang COVID-19. Meskipun ada sebagian teori umum ini benar, tetapi tidak semuanya bisa digunakan untuk COVID-19 ini. Para ilmuwan epidemilogi mencari jawaban bagaimana transmisi virus COVID-19 ini menyebar. Ada beberapa peneliti yang mengatakan bahwa tersebutnya melalui liquid droplets dari penderita. Ada juga yang melalui aerosol dan bahkan ada yang mengatakan airborne. Tetapi akhirnya WHO mengumumkan kalau transmisinya melalui Liquid droplets bukan airborne. Pengumuman ini sudah barang tentu, dilakukan melalui penelitian.
ADVERTISEMENT
Teori tentang social distancing adalah hasil penelitian berdasarkan virus-virus corona yang lama, sampai hari ini dianggap paling benar, komunikasi masyarakat harus dijaga jaraknya, untuk mengurangi transmisi COVID-19. Sedangkan teori yang lain, ternyata virus ini bisa hidup lepas dari induk semangnya 8-9 jam di berbagai media misalnya kayu, logam, plastik, dan lainnya. Sehingga keluarlah teori clean life. Persoalan lain adalah sistem kekebalan tubuh manusia tidak sama dalam menghadapi virus ini. Didalam tubuh manusia ada 2 sistem kekebalan tubuh yaitu innate immunity dan adaptive immnunity. Sistem ini sebenarnya merupakan ekspresi protein dan para ilmuwan semua ekspresi protein adalah adanya faktor genetis. Akhirnya ada teori herd immunity karena faktor genetis itu pasti berbeda pada setiap bangsa dan ras manusia. Belum lagi faktor iklim rupanya virus ini tidak terlalu tahan dengan suhu tinggi dan sinar UV, sehingga sempat beberapa pemimpin sangat percaya diri bahwa di Indonesia COVID-19 tidak akan berkembang pesat. Meskipun kemungkinan teori faktor iklim ini ada benarnya, ini terbukti Indonesia belum menjadi episentrum penyebaran COVID-19 ini (dan mudah-mudahan tidak), tetapi virus ini ternyata juga menyebar diseluruh Indonesia. Pada hari ini pun USA yang merupakan episentrum penyebaran COVID-19 sudah memasuki musim panas, tetapi penyebarannya juga masih tinggi.
ADVERTISEMENT
Dari fenomena-fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa COVID-19 memang sulit diatasi. Apalagi obat COVID-19 masih menjadi polemik ilmuan. beberapa ilmuan juga telah membatalkan hasil publikasi obat anti COVID-19 yaitu Hidroksi kloroquin untuk pengobatan COVID-19 karena sangat berbahaya bagi pasien. Sedangkan untuk membuat vaksin perlu waktu yang lama, bahkan penulis ragu apakah para peneliti dapat membuat vaksin COVID-19 karena ternyata beberapa pasien mengalami infeksi COVID-19 setelah sembuh bisa terkena ke dua kalinya. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa COVID-19 merupakan virus yang apabila tubuh manusia terinfeksi virus tersebut, tubuh manusia tidak dapat membentuk sel T memori, seperti beberapa virus yang lain, kalau tubuh tidak dapat membuat sel t memory pekerjaan membuat vaksin adalah perbuatan sia sia. Di alam ini sudah banyak virus yang tidak dapat membuat tubuh yang terinfeksi untuk membuat sel T memori yaitu virus HIV, Virus BDB. Kalaupun ditemukan vaksin Indonesia harus hati-hati apabila ada negara yang menawarkan vaksin tersebut, karena sampai hari ini, sudah lebih dari 5 strain dari COVID-19 yang berkembang di dunia. Strain yang ada di Wuhan sudah berbeda dengan strain yang pada saat ini menjadi strain yang ada di episentrum COVID-19 dunia yaitu di USA. Masing-masing strain belum tentu cocok dengan strain yang lain untuk dijadikan vaksin. Apalagi menurut penulis faktor ekonomi pasti akan menjadi motivasi dari para produsen vaksin. Sedangkan sampai hari ini masih belum ditemukan obat efektif untuk mengatasi COVID-19 ini.
ADVERTISEMENT
Dari uraian dia atas peluang untuk mengakhiri pandemi COVID-19 ini memerlukan jangka waktu yang panjang. Padahal kehidupan manusia harus berlangsung terus. Apalagi dalam sektor ekonomi, hampir semua negara mengalami dampak ekonomi yang luar biasa akibat pandemi ini. Untuk itulah manusia harus bersiap menghadapi kondisi kesetimbangan baru, yaitu hidup berdamai dengan COVID-19. Setelah beberapa negara melakukan fully lockdown atau partially lockdown (PSBB). Pertanyaannya kapan suatu negara atau pemerintahan melakukan kebijakan New Normal ini? Ini pertanyaan penting yang dijawab dengan hati-hati. Mengingat apabila kita membuka kembali kebijakan fully/partially lockdown, bukan tidak mungkin akan ada gelombang kedua pandemi COVID-19 ada beberapa metode sebenarnya untuk memutuskan kapan lockdown dibuka kembali. Menurut penulis, ada paper yang cukup menarik untuk dijadikan referensi pemikiran kebijakan pemerintah untuk memutuskan itu yaitu hasil riset yang dilakukan oleh Tomas Pueyo, yang diterbit awal tahun 2020 ini dengan judul Hammer and Dancing paper ini telah dibaca puluhan juta pembaca. Dimana setelah pemerintah melakukan tindakan fully/partially lockdown penurunan jumlah positif COVID-19 turun drastis terutama di negara Itali, Inggris, Jerman, Korea selatan dan Jepang, tetapi setelah itu ada kecenderungan data naik turun istilah Tomas Pueyo datanya seperti dancing. Tetapi sebenarnya data ini cukup menarik untuk dikaji, kapan sebenarnya kita bisa memutuskan kapan kebijakan New Normal bisa dilakukan?
ADVERTISEMENT
Dari grafik Tomas Pueyo tersebut bisa dijadikan grafik model acuan sebagai berikut: apabila telah ada fenomena penurunan pasien positif COVID-19 seperti gambar tersebut sampai titik terendah akhirnya meskipun masih ada penderita, maka titik ini dapat digunakan sebagai acuan kebijakan pra New Normal, lockdown jangan dibuka dahulu sampai 2 x 14 hari, masa inilah yang disebut dancing oleh Tomas Pueyo, grafik ini sebetulnya naik turun dalam posisi tetap rendah, selama 2 x 14 hari apabila masih dalam titik-titik naik turun tetapi perbedaannya tidak menyolok, kita dapat menyimpulkan masyarakat sudah adaptasi dengan pola hidup bersama dengan COVID-19. Seperti bagaimana implementasi social distancing, pula hidup aseptis, masyarakat dengan budaya semacam ini menurut penulis sudah siap menjalani hidup dalam kondisi New Normal. Kondisi semacam ini dapat digunakan pemerintah untuk menerapkan kebijakan New Normal.
ADVERTISEMENT
Dimulailah persiapan pelonggaran-pelonggaran kebijakan fully/partially lockdown dilakukan sambil membuat protokol-protokol kesehatan yang ketat di semua area kehidupan, maka akan terjadi peradaban baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru, sampai masyarakat menunggu kerja-kerja para ilmuwan untuk menghasilkan hasil-hasil risetnya baik berupa vaksin atau obat anti COVID-19. New Normal merupakan peradaban baru dengan di suport budaya revolusi industri 4, akan terlahir generasi X yaitu generasi milenial COVID-19 yang benar-benar mengubah perilaku, pandangan hidup dan tata cara berkomunikasi antara manusia, beribadah, berdagang, pendidikan, kegiatan ekonomi, dan lain-lain. Manusia seharusnya mulai menyadari tentang makna kehidupan, ternyata mahluk yang maha kecil karena ukuran diameternya hanya berkisar kurang dari 100 mikron, dia juga tidak jelas termasuk mahluk hidup atau bukan, ternyata mempunyai kekuatan dahsyat, bahkan lebih dahsyat dari perang mengerikan di Syria yang berlangsung 9 tahun dengan korban lebih dari 250.000 ummat manusia, sedangkan pandemik COVID-19 ini belum berlangsung 1 tahun telah membunuh lebih dari 400.000 orang yang menyebar ke seluruh dunia, bahkan tidak peduli di negara-negara Maju seperti Jepang, Jerman dan USA, secara bergantian menjadi episentrum. Sekarang apabila pemerintah tidak dengan hati-hati memutuskan sebuah kebijakan yang disebut New Normal dan kesadaran masyarakat kurang paham atas bahaya penyebaran virus ini, maka peluang terjadinya gelombang kedua pandemi COVID-19 ini sangat besar. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bahu membahu. Melalui program fully lockdown atau partially lockdown. Hasil program dievaluasi secara hati-hati dengan indikator penurunan jumlah penderita COVID-19. Sampai titik terendah meski sulit sampai titik nol, dan terjadi perkembangan yang steady (terjadi kesetimbangan), maka mulailah disiapkan pelonggaran-pelonggaran tetapi diikuti protokol-protokol ketat maka kebijakan New Normal bisa diterapkan, dengan terus-menerus dijaga grafiknya. Bila terjadi kenaikan yang tajam kembali, perlu adanya upaya kebijakan lockdown kembali, dengan kebijakan semacam ini peluang terjadinya gelombang kedua pandemik COVID-19 semakin kecil, sambil menunggu penemuan obat anti COVID-19. Mari kita berdoa mudah mudahan para peneliti secepatnya dapat menemukan obat anti COVID-19 ini, amin.(*)
ADVERTISEMENT