Opini: Kalau Harus Panik, Paniklah di Awal

Konten Media Partner
16 Maret 2020 17:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Cleoputri Yusainy. Foto: Dok.
Fuctum stultus cognoscit, the fool can only understand risks after the harm is done (Desiderus Erasmus Roterodamus, Collecteana Adagiorum, 1500).
ADVERTISEMENT
Kata 'panic' diturunkan dari 'Pan', nama dewa Yunani Kuno. Penguasa hutan belantara tanpa informasi isinya apa, bisa masuk tak bisa keluar. Di era Roma, episteme ini menjadi Fauna. Bangsa Celtic merujuknya sebagai monster penunggu hutan, fear of the unknown. Sebelum akhir Abad XVIII, kata panic difungsikan sebagai adjektiva dan nomina, bukan kata kerja. Dalam makhluk hidup, ia innate, merupakan firmware untuk kebutuhan survival. Deteksi kehadiran predator meniscayakan kalibrasi aman. Kita boleh benar ribuan kali, namun sekali saja salah, tamat. Maka panik, dalam dirinya wajar sebagai perangkat untuk menjaga kelangsungan hidup.
Problem muncul ketika istilah panik dipersamakan dengan kewaspadaan ekstrem. Meski secara prinsip keduanya berpangkal pada soalan survival, keputusan kapan panik disalurkan dan pada level praksis tindakan apa yang akan diambil menjadikannya berbeda. “Panik” yang dilakukan sejak awal, jauh sebelum terjadi suatu peristiwa dengan unsur kegawatan adalah suatu bentuk persiapan yang bijak. Yang kemudian menimbulkan potensi masalah adalah problem temporal: ketika panik terlambat datang, dalam skala yang besar. Selain tidak menyelesaikan masalah juga semakin menambah kompleksitasnya.
ADVERTISEMENT
Ada dua tipe kesalahan dalam statistika yang relevan dengan hal ini:
Galat tipe I: Teriak ada macan ternyata hanya suara rumput. Galat tipe II: Dengan santai bilang hanya suara rumput ternyata macan.
Pilih galat tipe apa? Tergantung jenis risikonya. Untuk hal yang arahnya catastrophic utamakan paranoid meski ternyata keliru. Lebih aman false alarm namun penghuninya survive, ketimbang gedung sudah terbakar alarm tidak bunyi. Ketika kuda yang ditunggangi buta, jauh lebih bijaksana untuk berjalan perlahan. Bila lampu kendaraan mati di jalan ketika malam hari tanpa adanya lampu penerangan jalan, kita paham, risiko apa yang mungkin terjadi.
Apabila mekanisme yang mendasari sesuatu hal punya perilaku: Mampu menggandakan diri, menyebarkan diri, dan memperkuat diri, maka wajib hukumnya untuk ekstra, super, sangat amat diwaspadai. Jika perilaku tersebut terdeteksi, probabilitas menjadi risiko sistemik tinggi sekali. Dan elemen tersebut terpenuhi dalam kasus wabah COVID-19. Kedua, amati profil distribusi probabilitasnya. Persebaran virus seturut dengan pola pertumbuhan eksponensial. Ringkasnya, pertambahan jumlah kasus dan angka kematian akan dobel pada interval waktu tertentu. Pola yang mendasarkan diri pada perkalian ini bukanlah penjumlahan biasa. Pendekatan dengan menggunakan estimasi kurva normal Gaussian menjadi tidak mengandung unsur informasial yang bermakna.
ADVERTISEMENT
Berhadapan dengan profil distribusi seperti itu dimungkinkan jatuhnya korban dalam jumlah masif. Namun masih saja kita mendengar pendapat yang membandingkan karakter penularan virus ini dengan kejadian dengan sifat yang jauh berbeda. Pernyataan bahwa jumlah korban meninggal karena kecelakaan lebih besar ketimbang terinfeksi virus, misalnya, bukanlah perbandingan yang setara.
Lebih jauh, dalam masalah risiko sistemik yang taruhannya tidak ada lagi hari esok, mindset yang harus dihindari adalah membubuhkan kemungkinan mustahil (0). Tetapi, anggap sebagai suatu kejadian yang pasti terjadi. Bahwa problem inter-arrival, artinya kapan terjadinya, di mana lokasinya, yang sampai hari ini kita belum mampu menemukan formula perhitungannya, justru idealnya membawa kita kepada satu kesiapan. Bahwa besok pagi pun, ketika musibah terjadi, kita sudah siap.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, “If there is “might be” with loss, replace it with “would be”. “If there is “would be” with profit, replace it with “might be”. Standar analisis risiko sebagian besar masih memakai dasar perhitungan kurva normal Gaussian. Padahal risiko dengan konsekuensi fatal jauh lebih akurat didekati dengan kiraan probabilitas: distribusi fat-tailed disesuaikan dengan mekanisme yang mendasarinya. Satu kejadian konsekuensial yang mengubah hidup tidak terdeteksi kalau dihitung dengan asumsi Law of Large Number dan Central Limit Theorem. Ingat, penjahat mudah saja pura-pura baik, namun orang baik setengah mati melakonkan diri sebagai penjahat. Profil distribusi probabilitas fat-tailed bisa berpura-pura menjadi kurva normal Gaussian. Namun Gaussian tidak bisa menyamar sebagai fat-tailed.
ADVERTISEMENT
Belum lagi diperkeruh oleh penganut aliran evidence-based garis keras yang bersikeras meminta bukti. Saya tidak mengatakan praktik evidence-based itu tidak perlu. Sangat penting, karena itu pilar sains. Masalahnya, pada dimensi apa suatu hal dijadikan amatan.
Seekor sapi potong jelas setiap hari dikasih makan. Berdasarkan data ini, evidence-based, maka si sapi mengira tidak akan dijagal: “Bukankah setiap hari dirawat, masa nantinya disembelih?” Contoh lain, sampai ini hari saya hidup, maka berdasarkan data harian, evidence-based lagi, maka saya immortal. Tidak bisa mati sebab 100% data valid menunjukkan bahwa sejak lahir tidak ada satu haripun saya mati. Inilah beda antara science dan scientism.
Melihat perkembangan terakhir pola pertumbuhan kasus infeksi pada negara di luar China yang mencapai kisaran 10 kali setiap 14 hari, dan pola pertumbuhan angka kematian 10 kali setiap 10 hari, tidak ada lagi pilihan selain memperkuat kewaspadaan pada level tertinggi yang kita mampu.
ADVERTISEMENT
Cleoputri Yusainy, M.Psi., Ph.D., Psikolog
Dosen Psikologi Universitas Brawijaya