Pengamat Sebut Peningkatan Teknologi Pertahanan Lebih Penting dari Komcad

Konten Media Partner
24 Maret 2022 8:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
FGD/Expert Meeting tentang Telaah Kritis UU No 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik Keamanan, Hukum, dan HAM, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Foto: Fajrus Sidiq
zoom-in-whitePerbesar
FGD/Expert Meeting tentang Telaah Kritis UU No 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik Keamanan, Hukum, dan HAM, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Foto: Fajrus Sidiq
ADVERTISEMENT
MALANG – Undang–undang No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) masih digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Undang-undang yang mengatur komponen cadangan (Komcad) itu, dinilai cacat formil dan substansial. Para pemerhati dan pengamat menyebut Teknologi Pertahanan lebih penting dari Komcad.
Masalah tersebut dibahas pada FGD/Expert Meeting tentang Telaah Kritis UU No 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik Keamanan, Hukum, dan HAM, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB).
Hadir sebagai narasumber Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Dr Al Araf; Pengamat Hukum dan HAM FH UB, Milda Istiqomah PhD; Dosen Fisip UB, Arief Setiawan MA; dan dimoderatori Ketua Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi FH UB, Dr Muktiono. Hadir puluhan peserta dari berbagai elemen, pemerhati, pengamat, akademisi, lembaga masyarakat, dan pers.
Sejumlah pasal yang bermasalah disampaikan Milda. Dalam Pasal 4 UU PSDN, ruang lingkup ancaman menurutnya terlalu luas. Hal tersebut akan menimbulkan permasalahan, termasuk terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Misalnya, komcad punya kewenangan melakukan laporan dan tindakan yang harusnya ada filter.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak menolak sepenuhnya. Hanya beberapa pasal yang perlu dicermati karena bermasalah. Salah satunya penjatuhan sanksi pidana jika komcad tidak mau melakukan mobiliasi atau melaksakan perintah, ini bertentangan dengan prinsip kesukarelaan,” kata dosen FH UB tersebut.
Selain itu, persoalan di tubuh TNI sendiri menurutnya belum selesai. Jangan ditambah lagi beban anggaran baru dengan komcad. Penguatan pertahanan dan keamanan negara yang terpenting adalah teknologi pertahanan. Sementara sumber daya manusia cukup dari TNI.
“Lebih baik TNI ditambah pelatihannya dan kesejahteraannya,” sarannya.
Hal senada disampaikan Al Araf. Dia dan sejumlah lembaga masyarakat ikut mengawal judicial review UU PSDN di MK. Komcad menurutnya belum dibutuhkan saat ini. Dan mungkin tidak dibutuhkan sama sekali. Apalagi UU PSDN yang mengatur komcad juga ditemukan masalah.
ADVERTISEMENT
“Ini juga pelik. Masyarakat masih gugat di MK, malah bikin revisi UU PSDN di DPR,” terangnya.
Lebih rinci, Al Araf menjelaskan UU PSDN layaknya UU wajib militer. Misalnya disebutkan, sekali masyarakat masuk komcad, tidak boleh keluar. Kalau keluar, hukumnya bisa pidana. UU PSDN menurutnya menafikan norma agama dan HAM. Dan sejumlah pasal menurutnya tidak sejalan dengan konstitusi.
“Komcad gajinya hanya Rp 500 ribu per bulan. Nah ini saya dengar kalau masyarakat menolak, nanti yang wajib ASN. Jadi siap-siap ibu dosen pagi-pagi sudah mulai lari-lari, push up,” ucapnya.
Padahal kata dia, sebagian negara Eropa pasca perang dingin sudah tidak mengandalkan SDM perang. Program wajib militer dihapus di berbagai negara. Termasuk Inggris yang sadar perang modern membutuhkan komponen teknologi pertahanan perang dan tentara profesional.
ADVERTISEMENT
“Di Inggris tidak banyak tentaranya tapi mereka mobilisasi di area penting. Dan teknologi perang menjadi yang diandalkan. Di kitakan masih punya problem di komponen utama, kok malah nambah beban baru dengan komponen cadangan,” tegas Al Araf.
Al Araf meminta MK harus menafsirkan UU PSDN dengan benar yaitu logika komponen utama sebagai pasukan perang, berarti sama dengan komponen cadangan tersebut. Dan banyak negara menurutnya mengatur komcad hanya sebatas soal SDM saja.
“Standing point kami, MK mengabulkan gugatan permohonan terhadap pasal-pasal yang bermasalah,” ucapnya.
Meski UU ini nantinya tetap ada, Al Araf menyatakan tidak perlu diterapkan untuk 20 tahun ke depan. Tentu karena tidak ada urgensi pada tahap krisis. Fokus utama pertahanan tetap pada tubuh TNI. Bagaimana pada era perang modern ini, pemerintah bisa mengembangan tentara profesional dan membangun teknologi pertahanan modern.
ADVERTISEMENT
“Saya kira dalam jangka pendek 20 tahun ke depan, aturan ini tidak perlu diterapkan dulu. Prioritasnya ya komponen utama beserta kesejahteraannya,” tukasnya.
Dari sudut pandang politik, Arief mengingatkan sejarah paramiliter di berbagai negara termasuk Indonesia dulu. Hal tersebut memberikan dampak negatif yang tak kunjung selesai bahkan hingga saat ini. Komponen cadangan menurutnya bisa saja dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan yang lain.
“Komcad ini absurd. Saya rasa lebih baik untuk meningkatkan alutsista,” pungkasnya.
Reporter: Fajrus Sidiq