Riuh HIP, Sejarawan Muda Ingatkan Literasi Milenial

Konten Media Partner
6 Juli 2020 20:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kamar Presiden Sukarno semasa kecil di Desa Pojok, Kediri.
zoom-in-whitePerbesar
Kamar Presiden Sukarno semasa kecil di Desa Pojok, Kediri.
ADVERTISEMENT
MALANG- Jika masih mengingat pelajaran sejarah di sekolah dasar (SD) tentang Dekrit Presiden Sukarno, maka bulan Juli merupakan waktu tepat. Karena, dekrit tersebut diucapkan presiden pertama Republik Indonesia pada 5 Juli 1959 silam. Lalu bagaimana dengan kondisi milenial saat ini?
ADVERTISEMENT
Sejarawan muda Universitas Binus Malang Faishal Hilmy Maulida menerangkan ada yang kurang tepat dalam perdebatan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Khususnya dalam melihat milenial yang kurang menyelami sejarah ideologi negara. Ia menegaskan keriuhan RUU HIP ini perlu dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Yakni, perdebatan ideologis dengan politis. “Masa awal kemerdekaan dulu wajar jika terjadi perdebatan itu karena para pendiri bangsa ini membaca banyak hal, dan itu sangat ideologis, tapi sekarang ini lebih ke politis saja,” ungkapnya.
Ia menyayangkan jika milenial saat ini hanya memandangnya sebelah mata saja. Penulis buku Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama Indonesia 1953-1956 ini menerangkan jika kondisi Indonesia awal kemerdekaan dulu penuh dengan analisis wacana tentang ideologi. Sehingga, perdebatan yang muncul dalam surat kabar medio 1950-an itu terasa sangat ideologis. “Saya lihat bagaimana surat kabar dulu berbeda dengan saat ini, jika sekarang ramai dengan HIP ini rasanya tidak seperti perdebatan ideologi dulu,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, jika dilihat dari momentum dekrit ialah mengembalikan semua dasar ke UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan konstituante gagal perumusan UU pengganti UUDS 1950 akhirnya kembali ke UUD 1945. “Ada juga pembangkangan terhadap Jakarta karena terlalu sentralistik dan tidak ada representasi dari daerah luar Jawa. Ancaman perpecahan bisa jadi lepas dari republik atau sekadar pembangkangan,” kata Hilmy. Menurutnya, kondisi sekarang tentang pancasila dan UUD 1945 sudah final. “Pembaca sekarang ini hanya menyoal pasal 7 saja tentang istilah trisila dan ekasila, inikan hanya tafsir dari Bung Karno. Yang paling penting membaca lebih dulu,” terang alumnus Universitas Indonesia ini.
Menanggapi ini, pengasuh Ndalem Pojok rumah masa kecil Bung Karno, Kushartono juga menyanyangkan keriuhan itu. Ia berharap kondisi segera membaik, tidak malah berkepanjangan saling memperkeruh situasi. “Yang jadi persoalan melampaui batas persaudaraan. Perbedaan ini berlebihan, kita telah bersumpah rasa bersepakat untuk bersatu,” terangnya. Ia juga menjelaskan pada Juni lalu sempat deklarasi di Ndalem Pojok tentang Pancasila ialah jati diri bangsa sebagai dasar negara. Dilemanya, kata Kushartono, Ndalem Pojok mengusung pancasila sebagai Pusaka Perdamaian Dunia, tetapi justru menjadi persoalan di dalam negara. Kushartono berharap masyarakat mau lebih dewasa untuk permasalah. Sehingga, tidak malah memperuncing masalah. “Yang jelas, pancasila bisa mempersatukan bukan malah memecah anak bangsa,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Reporter: Rino Hayyu Setyo