Terkendala Regulasi, Penanganan Kasus SMA SPI Kota Batu Masih Menggantung

Konten Media Partner
23 November 2021 17:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
SMA Selamat Pagi Indonesia Kota Batu. Foto: Ulul Azmy
zoom-in-whitePerbesar
SMA Selamat Pagi Indonesia Kota Batu. Foto: Ulul Azmy
ADVERTISEMENT
BATU - Proses penanganan dugaan praktik tindak kekerasan fisik, pelecehan seksual, pencabulan, hingga eksploitasi ekonomi di sekolah ternama, SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu terkesan lamban. Hingga saat ini, kejelasan perkara demi perkara yang dilaporkan masih menggantung.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pihak mulai Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batu dan DPRD Kota Batu hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka tidak bisa ikut campur terlalu dalam di perkara ini karena terkendala regulasi di mana sekolah ini bernaung di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.
Sebelumnya, pemilik SMA SPI, JEP, dilaporkan atas dugaan praktik pelecehan seksual. Kasusnya saat ini masih mandek di tangan Polda Jatim.
Terbaru, Pengelola Asrama SMA SPI, Akhmad Akhiyat, dipolisikan atas dugaan tindak kekerasan fisik terhadap murid-murid di sana yang rata-rata adalah anak yatim piatu.
Hearing antara DPRD Kota Batu bersama Lembaga Perlindungan Anak dan sejumlah elemen pegiat anak Kota Batu, pada Selasa (23/11/2021). Foto: istimewa
Ketua LPA Kota Batu, Fuad Dwiyono, mendesak agar seluruh pihak, terutama Dinas Pendidikan Provinsi Jatim untuk bergerak mengawal kasus ini. Apalagi menyangkut hak-hak anak yatim di sana.
ADVERTISEMENT
Sampai hari ini, aku Fuad, dirinya tidak melihat keterlibatan mereka sama sekali. ''Itukan kewajiban mereka karena SPI ada di bawah naungan mereka. Terus terang ini bukan sekolah, itu hanya kamuflase sebagai tameng untuk melindungi kebutuhan pribadi atau kelompok,'' jelas Fuad, usai hearing dengan DPRD Kota Batu, pada Selasa (23/11/2021).
Hasil hearing, lanjut Fuad, diusulkan pembentukan tim investigasi independen di Kota Batu yang di dalamnya terdiri dari eksekutif, legislatif, dan juga elemen masyarakat. Fuad berharap usulan itu tidak hanya jadi wacana.
''Kami mendesak agar pihak legislatif dan eksekutif ikut turun tangan dalam kasus ini. Tak hanya secara hukum, tapi juga ikut mengawal hak dasar pendidikan, keamanan, hingga pendampingan trauma healing bagi korban,'' tegasnya.
ADVERTISEMENT
Terbaru, laporan terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan pengelola asrama sepekan lalu, kini juga masih di tahap pemanggilan saksi korban dari pihak SPI.
Senin (22/11/2021), kata Fuad, Polres Batu memanggil dua saksi korban dengan didampingi kuasa hukum SMA SPI.
''Dipanggilnya mereka saya kira akan melemahkan fakta dan bukti yang disampaikan korban yang mengadu ke LPA. Oke gak masalah, tapi kami tetap akan mengawal kasus ini, secara independen sesuai bukti dan fakta yang ada,'' tandasnya.
Kekhawatiran terkait objektivitas hukum yang sama muncul dari Ketua Komisi A DPRD Kota Batu, Dewi Kartika. Sepanjang pengawasannya, selama ini di SMA SPI Kota Batu tidak menerapkan asas keterbukaan data dan informasi publik. Padahal itu lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Menurut Kartika, selalu ada cara dari pihak sekolah untuk menutup-nutupi sesuatu. ''Saya pernah ke sana itu saja harus agak memaksa. Saat di dalam, semua seperti sudah ditata. Mulai siapa yang menemui kami, siapa anak-anak yang menyambut, sampai isi testimoni yang hampir seragam,'' kisah Kartika.
''Hampir semua kompak bilang baik-baik saja. Sangat bertolak belakang dengan apa yang kita dengar dari korban, baik korban baru maupun korban lama (alumni),'' imbuhnya.
Tak sekadar itu, dirinya mendapati banyak laporan miring dari masyarakat umum terkait bagaimana anak-anak di sana diperlakukan. Dari banyak laporan itu, dugaan eksploitasi ekonomi semakin menguat.
''Banyak anak-anak di sana disuruh jualan pernak-pernik kerajinan di alun-alun. Bahkan mereka agak sedikit memaksa untuk dibeli artinya mereka kan ada target. Ada unsur dugaan eksploitasi di sana,'' bebernya.
ADVERTISEMENT
''Dari alumninya, banyak juga cerita kalau di sana lebih banyak kerjanya daripada belajar. Pakai seragam itu hanya pas ada tamu, ada kunjungan, kalau ada pemeriksaan,'' tambah politisi PKB ini.
Dari semua itu, Kartika berharap seluruh pihak bisa turun tangan menangani bersama perkara ini. Harus ada penataan ulang sistem di sana, mulai dari rekrutmen hingga pembelajaran yang selama ini dikenal eksklusif.
''Sebenarnya ya bisa ditutup kalau terbukti benar, tapi kan kasihan karena ada banyak anak yatim piatu juga butuh pendidikan seperti di sana. Perlu diperbaiki sistemnya saja,'' ujarnya.
Sebagai alternatif, Kartika akan mengusulkan pembaharuan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
''Sehingga nantinya Pemda bisa ikut turun tangan mengawal dan mengakses masuk ke sekolah-sekolah 'eksklusif' maupun di bawah naungan provinsi jika ada kasus tertentu, apalagi menyangkut kemanusiaan. Selama ini gak bisa karena regulasi itu tadi,'' paparnya.
ADVERTISEMENT