Tiga Paslon, Pilkada Kabupaten Malang Bakal Sengit

Konten Media Partner
20 Januari 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pemiihan kepala daerah. (Foto: Pixabay)
Oleh: Abdul Aziz
Hingga saat ini, belum ada pasangan calon dari unsur partai politik yang menyatakan kesiapannya untuk maju dalam perhelatan Pilkada di Kabupaten Malang. Kita masih berkutat pada soal kemungkinan si A, si B, dan si C untuk maju. Bahkan, rekom partai pemenang pemilu pun tak kunjung turun pada kader terbaiknya. Mungkinkah survey elektabilitas terhadap para pengambil formulir PDIP belum tuntas? Sebaliknya, justru pasangan calon independen, yakni Sam HC dan Sam GH sudah positif berpasangan dan siap berlaga.
ADVERTISEMENT
Konon, orang nomor wahid di Kabupaten Malang (yang) besar kemungkinan diusung oleh PKB itu, oleh sebagian besar politisi diharapkan berkoalisi dengan PDIP sehingga Pilkada dapat berjalan mulus tanpa tantangan. Jujur, saya berpendapat sebaliknya. Tak ada menariknya Pilkada ini jika PKB dan PDIP berkoalisi. Seketika iklim demokrasi akan mundur dan kehilangan tumbuh-suburnya.
Sanusi sebagai petahana, sudah barang tentu maju untuk N1 melalui PKB yang memiliki 12 kursi. Tidak mungkin seorang incumbent rela geser ke N2. Masak berpengalaman jadi bupati mau 'dipimpin' oleh orang (yang) tak punya pengalaman, baik jadi bupati maupun wakil bupati? Tetapi, jika itu terjadi karena ini politik, secara langsung maupun tidak langsung akan menjatuhkan marwah dan harkat politiknya sebagai Bupati saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, menariknya adalah PDIP yang mempunyai 12 kursi. Dalam historisnya, partai banteng itu belum pernah mencalonkan kadernya untuk N2. Besar pula kemungkinannya, PDIP mengusung paslon tersendiri. Nah, di sinilah pertarungan soal kelayakan dan kepantasan serta denyut ego sektoral partai diuji. Berkoalisi atau masing-masing mengincar kursi bergengsi? Hemat saya, tidak perlu berkoalisi!
Saya berharap, peserta perhelatan Pilkada Kabupaten Malang bertanding sengit dengan tiga pasangan calon, yaitu petahana berkoalisi dengan, misalnya Gerindra yang memeroleh 7 kursi. Lalu, PDIP berkoalisi dengan, misalnya Golkar yang memeroleh 8 kursi dan/atau NasDem yang memeroleh 7 kursi. Kemudian, calon independen dengan merangkul massa mengambang (floating mass) dimana mereka belum jelas arah dan sikap politiknya, serta masyarakat yang kecewa pada partai politik selama ini.
ADVERTISEMENT
Dalam pertarungan nanti, apakah satu diantara ketiga pasangan ini akan 'makan malam' (dinner) dengan pengusaha untuk membiayai hajat politiknya? Idealnya, pasangan calon tidak menggantungkan political cost (biaya politik) nya pada seorang pengusaha. Jika hal itu terjadi, saat terpilih nanti akan tersandera pada kepentingan individu. Celakanya, di saat yang sama berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat. Utamanya dalam program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.
Sejatinya, kontestasi Pilkada adalah pertarungan ide dan gagasan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkemajuan. Bukan besar-besaran biaya politik, apalagi terjebak dalam praktek money politic (politik uang), yang sudah barang tentu saat terpilih akan berpikir mengembalikan modal dalam rentang dua hingga tiga tahunan. Sedang dua tahun sisanya berusaha untuk menumpuk modal demi melanggengkan kekuasaan periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat harus pandai memilah dan memilih calon pemimpinnya. Pilihlah pasangan yang clear (jelas visi-misinya, jelas biaya politiknya, jelas keberpihakannya pada masyarakat) dan clean (bersih dari dugaan korupsi, bersih dari dugaan a-moral, bersih dari dugaan pelanggaran etika). Dua standar moral kepemimpinan ini (clear and clean) sangatlah penting untuk menyaring dan mendapatkan pemimpin, walaupun tidak sempurna namun mendekati ideal. Bukankah demikian? Tentu, warga Malang (yang) lebih tahu! (*)
Foto: Dokumen
Abdul Aziz Direktur Eksekutif Lingkar Study Wacana (LSW) Indonesia, Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Malang Raya