Trik Bisnis Hadapi Tantangan Gemerlap Era Digital dari AMA Indonesia

Konten Media Partner
11 Januari 2020 12:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Menejemen Indonesia (AMA), Suherman Widjaja ketika menyampaikan materi di seminar bisnis bertajuk ‘Survive and Revive in Digita Era’ di Hotel Tugu, Kota Malang Jumat (10/1/2020) malam. (Foto: Khusnul Hasana/Tugumalang.id)
TUGUMALANG.ID – Era digital memang membuat apapun semakin mudah, semakin praktis. Namun, hal ini ternyata juga menciptakan tantangan lain di bidang bisnis. Jika ingin bertahan dari gempuran era digital, strategi bisnis pun sangat penting untuk diterapkan.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang disampaikan oleh Suherman Widjaja, Ketua Asosiasi Manejemen Indonesia (AMA Indonesia) Tangerang dalam seminar bertajuk ‘Survive and Revive in Digita Era’ di Hotel Tugu, Kota Malang Jumat (10/1/2020) malam.
Dalam seminar tersebut, Suherman pun menjelaskan bahwa potensi pemanfaatan bisnis di era digital sesungguhnya sangat besar. Lantaran, era digital sekarang semuanya sudah dalam genggaman, yakno melalui smartphone.
“Penduduk indonesia mencapai angka 271,06 juta. Sebanyak 140 juta merupakan pengguna internet,” terang Suherman.
Dari banyaknya penduduk Indonesia yang masuk di dunia digital, membuat banyak perubahan di masyarakat. Salah satunya yakni pola kebiasaan masyarakat. Di era digital seperti saat ini, orang tak perlu lagi mengantri di bank untuk menabung atau melakukan transaksi. Begitu juga dengan cara memesan makan yang juga tak perlu mengantri, melainkan tinggal memesan melalui aplikasi.
ADVERTISEMENT
Suherman mengatakan sebanyak 24.2% orang Indonesia suka membelanjakan uang. Menurutnya, era digital tak membuat daya beli masyarakat melemah, tetapi beralih belanja secara online karena banyaknya diskon yang ditwarkan.
Nah, hal itulah yang dijelaskan oleh Suherman sebagai tantangan bagi para pebisnis di era digital seperti sekarang. Tak hanya itu, ia juga mencontohkan beberapa gerai supermarket konvensional seperti Giant akhirnya gulung tikar akibat perubahan tersebut.
“Era digital mendisrupsi beberapa bisnis. Nilai uangnya semakin turun, daya tukarnya juga semakin turun. Era digital telah mendisrupsi beberapa hal. Yakni regulasi pemerintah, kebiasaan masyarakat, pola pikir masyarakat, dan cara pemasaran,” beber Suherman.
Ia bercerita, bahwa meski di era saat ini mulai berkembang dan banyak orang berduyun-duyun terjun ke dunia digital, rupanya banyak juga beberapa perusahaan digital yang akhirnya merugi.
ADVERTISEMENT
Suherman pun memberi contoh perusahaan Ovo yang mana sebagian sahamnya dimiliki oleh Lippo Group. Setiap bulannya, Lippo mengelurkan uang sebanyak Rp. 750 miliar, yang mana membuat Lippo akhirnya mulai meninggalkan Ovo. Tak hanya Ovo, satu perusahaan lagi yakni Bukalapak juga sempat PHK ratusan karyawannya akibat hal ini.
Dari adanya kasus perusahaan yang mulai merugi karena perubahan di era digital, Suherman memaparkan beberapa hal yang perlu dipelajari untuk mengantisipasi hal ini. Beberapa di antaranya yakni tetap tenang dan tidak perlu risau dengan bisnis. Selain itu ia juga menyatakan bahwa berbisnis harus untung dan bisnis memerlukan pondasi yang kokoh. Selain itu, kemakmuran dalam bisnis tercipta tidak secara instan melainkan diperlukan diperjuangkan
“Perlu daya tahan dalam menghadapi kesulitan, memperlihatkan kepentingan pihak lain terutama konsumen. Terus mengamati perubahan, serta fleksibel dan mau berubah,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengatakan bahwa pelaku bisnis perlu untuk revive atau menghidupkan kembali, survive atau bertahan hidup, dan thrive atau berkembang. Hal yang semestinya dilakukan adalah dengan memerankan teknologi, memahami aspek pemasaran, melakukan inovasi, kemapuan leadership yang baik, dan 4V terkait big data. Yakni Volume, Variety atau variasi, Velocity atau kecepatan dan Veracity atau kebenaran.