UM Gelar Diskusi Wujudkan Lingkungan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

Konten Media Partner
9 Juli 2020 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Webinar UM. Foto: dok.
zoom-in-whitePerbesar
Webinar UM. Foto: dok.
ADVERTISEMENT
MALANG – Diskusi terkait kebijakan untuk penyandang disabilitas masih menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak dikeluarkannya UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), kini pemenuhan hak disabilitas tidak lagi hanya berputar pada masalah jaminan sosial, kesejahteraan sosial, dan bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, beragam jenis perbaikan dan advokasi dilakukan agar perubahan ini menyentuh seluruh elemen yang ada, salah satunya di lingkungan pendidikan.
Lantas bagaimana seharusnya sikap lembaga pendidikan dalam menyikapi kesetaraan bagi penyandang disabilitas, khususnya di Indonesia yang telah meratifikasi adanya Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)?
Webinar UM. Foto: dok.
Pembahasan ini menjadi topik dalam webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Malang (UM) dengan tema Pengarusutamaan Hak Penyandang Disabilitas dalam Masyarakat Inklusif di Era New Normal, pada Kamis (9/7/2020).
Webinar yang dihadiri oleh para peneliti, aktivis, pengamat, dan pendidik ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Pendiri Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), Risnawati Utami SH MS/CIHPM; Difabel yang menamatkan studi doktor di University of New South Wales Sydney, Antoni Tsaputra PhD; dan Korprodi S2 Pendidikan Khusus UM, Dr Asep Sunandar SPd MAP.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan ini, Utami mengungkapkan bahwa dengan dilakukannya ratifikasi terhadap hak-hak disabilitas, maka juga ada konsekuensi yang harus dipenuhi, terutama dalam level pendidikan di perguruan tinggi.
Utami juga menekankan pada adanya jenis akomodasi dan sarana memadai yang harus diberikan oleh pihak pemangku kebijakan di perguruan tinggi untuk peserta didik penyandang disabilitas.
“Tidak boleh ada pengecualian karena mereka juga harus diberi akomodasi yang layak untuk mempermudah teman-teman difabel ini. Apabila diberi aksesibilitas yang memadai terbukti, seperti saya dan teman difabel lainnya, juga dapat memberikan kontribusi positif tidak hanya bagi negara tapi juga dunia. Hal ini yang tidak boleh terlupakan bahwa pendidikan itu menjadi salah satu cara untuk memajukan bangsa,” ungkap aktivis pertama yang mewakili Indonesia untuk duduk di Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas di PBB ini.
ADVERTISEMENT
Utami juga mengungkapkan, penolakan terhadap pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas merupakan sebuah bentuk diskriminasi.
Oleh karena itu, bentuk kebijakan-kebijakan publik untuk terus memberikan rasa kesetaraan kepada penyandang disabilitas harus terus dilakukan, seperti merealisasikan standar teknis aksesibilitas dalam pembangunan gedung universitas.
“Untuk mewujudkan hal ini diperlukan adanya recognition dan legitimation. Tujuannya agar masyarakat melihat penyandang disabilitas sebagai masyarakat yang setara dan mengakui bahwa juga memiliki kapabilitas dan otoritas,” imbuh Antoni.
Sementara itu, Asep mengungkapkan bahwa UM telah menjadi perguruan tinggi inklusif bagi peserta didiknya yang menyandang disabilitas. Cukup terlihat dari adanya kemudahan aksesibilitas yang diberikan oleh UM, seperti akses ke perpustakaan dan masuk ke gedung.
“UM sendiri juga memiliki prodi Pendidikan Luar Biasa dan di luar prodi tersebut, UM juga menerima mahasiswa difabel. Terhitung ada sejumlah 32 mahasiswa kami yang merupakan penyandang disabilitas dan tersebar di berbagai fakultas di UM,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Reporter: Andita Eka