Usai Korupsi Berjemaah, Mau Dibawa ke Mana Nasib DPRD Kota Malang?

Konten Media Partner
19 Mei 2019 9:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Aziz*
Ilustrasi money politic. Foto: kumparan.
Sejatinya, rekrutmen kepemimpinan di tingkat legislatif di Kota Malang merupakan pertarungan ide dan gagasan politik demi mengembalikan muruah DPRD yang rapuh karena 41 legislatornya diciduk KPK, dan kini resmi menjadi terpidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Juga, seharusnya, seleksi wakil rakyat ini diikuti oleh kontestan-kontestan yang jelas rekam jejaknya, memiliki keberpihakan pada kepentingan masyarakat, mempunyai komitmen pada pemberantasan korupsi, dan bersih dari dinasti koruptor.
Namun, realitasnya tak demikian. Praktik money politic patut diduga terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif di pagelaran Pileg 2019 di Kota Malang. Begitu kuat dugaan tersebut hingga pada pekan lalu, warga Kota Malang digegerkan dengan berita pengembalian money politic yang diterima dari tim sukses caleg ke Kantor Bawaslu.
Tetapi, dalam proses dan tahapan Pileg 17 April 2019 bulan lalu, tak satu pun caleg maupun tim sukses yang tertangkap atau diproses hukum karena faktor money politic, yang lazim dilakukan dalam bentuk serangan fajar.
ADVERTISEMENT
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan melakukan pencegahan dan penindakan. Terlebih pada praktik money politic yang terkategori pidana Pemilu, dan tidak mencerdaskan masyarakat.
Dengan struktur yang kuat hingga tingkat Kelurahan, sungguh bukan perkara sulit bagi Bawaslu untuk melaksanakan kewenangan yang melekat padanya. Bagaimana kenyataan di lapangan? Jauh panggang dari api!
Selain itu, mayoritas calon legislator yang akan diumumkan sebagai caleg terpilih pada 22 Mei 2019, bukan mereka (yang) selama ini dikenal berjibaku dengan perjuangan hak-hak warga-masyarakat sipil.
Justru, sebagian di antaranya, konon masih tergolong keluarga di antara 41 terpidana korupsi. Miris! Di tengah masyarakat berharap DPRD Malang ada perubahan, tapi sebagian calon wakil rakyat yang ada, dapat disebut (masih) kepanjangan tangan para napi korupsi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang mengemuka, mau dibawa ke mana DPRD Kota Malang? Mungkinkah harapan akan terwujudnya legislatif tanpa korupsi bakal tercapai? Dan, apa solusi yang solutif menghadapi kenyataan yang demikian?
Akankah kita biarkan sistem rekrutmen dan seleksi kepemimpinan legislatif (yang) hanya bermodal dan mengandalkan money politic? Bahkan, abai akan visi, track record yang jelas, dan kapasitas serta performance-nya (juga) patut diragukan.
Di sisi lain, caleg yang meraup suara ribuan dengan modal uang Rp 600 juta hingga Rp 1,5 miliar, sudah barang tentu, 1-3 tahun masa kerjanya, yang ada dalam otaknya, berpikir mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Bagaimana cara mengembalikan modal ratusan hingga di atas satu miliar? Padahal jika menghitung gaji dan tunjangan belumlah cukup. Lima tahun sekalipun. Tentu tak ada cara lain kecuali melakukan pemufakatan jahat, korupsi.
ADVERTISEMENT
Sedang 1-2 tahun berikutnya, berniat untuk maju kembali. Praktis, selama 5 tahun bekerja sebagai wakil rakyat, tak pernah ada waktu berpikir tentang apalagi berjuang untuk rakyat.
Soal terakhir, demokrasi macam apa yang sedang kita jalankan dan pertontonkan ini? Menguatkan demokrasi atau menggerus sekaligus mematikan demokrasi? Inilah tantangan Malang ke depan.
Saya, anda, dan kita semua harus terpanggil dan terlibat untuk melakukan perubahan! Mari bergerak bersama. Melawan politik uang! Jadikan, money politic sebagai musuh bersama.
Tentu, sebagai warga Kota Malang, kita ingin Kota Pendidikan ini tidak terus berada dalam ke-malang-an, bukan?
Abdul Aziz, penulis artikel.
*Penulis adalah Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Malang Raya.