Video, Pencabulan pada Murid adalah Kejahatan Struktural

Konten Media Partner
18 Februari 2019 20:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo Dr Sakban Rosidi, M.Si mengemukakan pendapatnya tentang kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru di Kota Malang. (foto: Rino Hayyu/Tugu Malang).
TUGUMALANG.ID- Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru di SDN Kauman 3 Kota Malang mendapat respon dari pakar pendidikan Kota Malang. Salah satunya datang dari Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo Dr Sakban Rosidi, M.Si.
ADVERTISEMENT
“Inilah yang disebut dengan violence dengan motif seks,” ucap pengajar Filsafat Pendidikan Jasmani dan Olahraga ini. Ia menjelaskan jika ada cara pandang yang harus diperhatikan tentang korban kekerasan seksual. Sakban menerangkan jika masyarakat harus jernih membedakan antara kekerasan (violence), penyerangan (agression), dan pelecehan (harassment).
Kasus kekerasan ini sesuai takrif kekerasan, yaitu penimbulan aktif atau pasif perbedaan antara perwujudan jasmani dan rohani aktual dengan potensialnya.
Kalau misalnya, kata Sakban Rosidi, sekarang ini ada manusia mati kelaparan, bisa dianggap telah terjadi kekerasan. Mengapa, karena pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan dan sumberdaya untuk mencegahnya. Ini yang disebut kekerasan struktural-impersonal. “Konsepnya demikian jika itu secara pasif,” imbuh peneliti Wacana Kekerasan dan Kekerasan Wacana ini.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan jika konsep kekerasan berkelindan dengan kekuasaan. Karena itu, sekadar pembiaran terhadap kejahatan atau wabah oleh pejabat publik yang memiliki kewenangan dan sumberdaya pencegahan, sudah tergolong kekerasan pasif.
Lebih mengerikan lagi, apabila seseorang yang memiliki telah menggunakan kekuasaannya secara aktif menindas orang lain, yang tuna-kuasa. Ini bisa dilakukan oleh pejabat, dosen, guru dan bahkan orang tua atau dituakan. Oleh karenanya, kejahatan ini bis disebut kejahatan struktural.
Selain itu, kekerasan bisa aktif atau pasif, bisa fisik atau psikologis, bisa ada korban langsung atau tak langsung, bisa bersubjek personal atau impersonal, bisa sengaja atau tak sengaja, dan bisa manifes atau laten, karena konsep kekerasan lebih bersudut pandang korban ketimbang pelaku. Kekerasan tak selalu menyoal motif. “Kalau pelaku ini secara jelas telah melakukan active personal violence,” terang doktor pendidikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang harus digarisbawahi, lanjut Sakban Rosidi, guru tersebut tidak mempunyai moral. Sebab dia mempunyai kewenangan atau otoritas profesional untuk memberikan pendidikan literasi fisik dan moral publik melalui olahraga. Sebab, guru olahraga merupakan benteng moral publik. “Dia mengajarkan tentang bagaimana simulasi menang dan kalah melalui permainan. Dan setiap permainan itu ada aturannya, inilah moralnya,” pungkasnya.
Disisi lain, aktivis Kohati Malang Agnia Addini dan Woman Crisis Center (WCC) Kota Malang Sri Wahyuningsih menerangkan jika pihaknya menuntut kepolisian segera menyidik pelaku berdasar pengakuan korban yang telah melalui proses konseling. Sebab, korban tidak berani melaporkan. Dan dikhawatirkan akan mengalami trauma berkepanjangan. “Ini bisa dilakukan jika konselor, psikolog maupun psikiater mempunyai izin konsultasi dari lembaga profesinya. Mereka cukup membuat surat keterangan, hal ini sesuai dengan KUHP,” kata Sri Wahyuningsih dan Agnia.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, doktor Konseling Universitas Negeri Malang Dr. Muslihati, S.Ag, M.Pd belum sepakat jika kerahasiaan korban itu langsung diberikan ke polisi dari profesi tersebut. Sebab, ada kode etik untuk menjaga keamanan korban. Sehingga, proses konseling yang harus diberikan ialah memberikan penguatan kepada korban untuk berani melapor. “Asal untuk kebaikan korban, maka laporan itu sebaiknya dilaporkan secara langsung,” pungkasnya.
Reporter : Rino Hayyu
Editor : Irham Thoriq