Berdiam di Rumah Adalah Bagian dari Ibadah

Ubaidillah Amin Moch
Santri Kyai NU Yang ingin mengabdi untuk negeri, Bukan orang Baik, ingin menjadi baik
Konten dari Pengguna
30 Maret 2020 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ubaidillah Amin Moch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kajian filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogya. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kajian filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogya. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan ini, dunia digemparkan dengan salah satu bentuk virus yang penyebarannya begitu cepat dan berpotensi mematikan. Virus ini kini kita kenal dengan nama COVID-19 atau yang biasa disebut dengan Virus Corona. World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 menetapkan virus ini sebagai pandemi global setelah persebaran virus secara geografi telah menjangkit di 114 Negara di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia, virus ini mulai masuk pada tanggal 2 Maret 2020 dan menyebar begitu cepat. Saat ini, persentase kematian akibat COVID-19 di Indonesia tercatat sebagai kematian tertinggi di antara negara-negara lain yang telah terpapar COVID-19.
Melihat realita demikian, penting kiranya untuk memahami bahwa virus COVID-19 bukanlah virus yang dapat disepelekan. Masyarakat perlu bersinergi agar virus ini tidak menyebar semakin ganas, seperti yang terjadi di Italia, Iran, dan Amerika. Salah satu langkah yang paling tepat adalah dengan cara berdiam diri di rumah dengan menerapkan physical distancing, yaitu menjaga jarak dari keramaian.
Dalam ajaran Islam sendiri, ketika di suatu daerah terjangkit suatu wabah, maka berdiam diri di rumah tergolong sebagai sebuah ibadah, bahkan pahala orang yang menetap di rumah di saat wabah sedang melanda layaknya seperti pahala orang yang mati syahid. Penegasan ini seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Sayyidah ‘Aisyah:
ADVERTISEMENT
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ ؟ فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ.
“Aku bertanya pada Rasulullah SAW tentang Tha’un, beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Tha’un adalah azab yang ditujukan pada orang-orang yang Allah kehendaki, lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Maka tidaklah seorang lelaki yang terkena tha’un lalu ia berdiam diri di rumahnya dengan bersabar dan senantiasa mengharap ridho dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah mengenainya melainkan apa yang telah ditentukan oleh Allah, kecuali ia akan mendapatkan pahala seperti halnya orang yang mati syahid” (HR. Ahmad)
ADVERTISEMENT
Penetapan physical distancing sebagai bentuk ibadah tak lain dalam rangka menjaga diri agar tidak terpapar virus COVID-19 dan menjaga orang lain agar tidak tertular bagi orang yang sudah positif terpapar virus ini.
Mengenai physical distancing ini, ulama kenamaan baghdad, Ibnu Qasim al-Jauzi, menjelaskan bahwa maksud physical distancing bukan berarti tidak beraktivitas apa pun seolah-olah kita adalah benda mati. Namun, lebih meminimalisir aktivitas yang tidak perlu dilakukan dan menghindari aktivitas yang berpotensi mengakibatkan terpapar virus yang sedang melanda. Maka bagi para pekerja yang memiliki imun yang kuat, seperti petani, pekerja kebun, tetap diperbolehkan bagi mereka untuk bekerja dengan tetap waspada dan tidak melakukan aktivitas yang berlebihan. Pandangan ini dikemukakan dalam kitab ath-Thibbun an-Nabawi:
ADVERTISEMENT
قيل: لم يقل أحدٌ طبيبٌ ولا غيره إنَّ الناس يتركون حركاتِهم عند الطواعين، ويصيرون بمنزلة الجماداتِ، وإنما ينبغى فيه التقلُّل من الحركة بحسب الإمكان، والفارُّ منه لا موجب لحركته إلا مجرد الفِرار منه، ودعتُه وسكونُه أنفع لقلبه وبدنه، وأقربُ إلى توكله على الله تعالى، واستسلامه لقضائه. وأما مَن لا يستغنى عن الحركة كالصُنَّاع، والأُجراء، والمسافرين، والبُرُد، وغيرهم فلا يقال لهم: اتركوا حركاتِكم جملةً، وإن أُمروا أن يتركوا منها ما لا حاجة لهم إليه.
“Diriwayatkan bahwa tidak satu pun dokter atau ahli medis lainnya yang berpandangan bahwa masyarakat tidak dapat beraktivitas apa pun tatkala masa wabah, seolah-olah mereka seperti benda mati. Hanya saja dianjurkan bagi masyarakat untuk meminimalisir aktivitas sebisa mungkin. Lari dari wabah tidak menuntut aktivitas apa pun kecuali gerakan menghindar dari wabah saja. Membiarkan dan berdiam diri lebih bermanfaat bagi hati dan tubuhnya serta lebih menunjukkan rasa tawakal kepada Allah Ta’ala dan pasrah terhadap ketentuan-Nya. Adapun orang yang butuh beraktivitas seperti produsen, buruh, dan pegawai lainnya, maka tidak layak dikatakan pada mereka: “jangan beraktivitas sama sekali” hanya saja mereka diperintahkan untuk meninggalkan aktivitas yang tidak dibutuhkan (terlebih beresiko tertular)” (Ibnu Qayyim al-Jauzi, ath-Thibbun an-Nabawi, Hal. 34)
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan menjalankan ibadah yang bersifat kolektif? Misalnya seperti salat jemaah, salat Jumat dan berbagai majelis keagamaan lain pada saat terjadinya pandemi COVID-19. Bukankah berdiam di rumah akan mereduksi laju syiar agama islam?
Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa dalam kaidah fikih terdapat dua kaidah khusus yang berkaitan dengan persoalan ini:
صحة الأبدان مقدمة على صحة الأديان
“Keselamatan tubuh lebih diutamakan dibanding keselamatan agama”
مصلحة الإنسان مقدمة على مصلحة الدين
“Kemaslahatan pribadi seseorang lebih diutamakan dari kemaslahatan agama”
Jika dengan menjalankan ibadah, maka keselamatan tubuh kita terancam, maka hal yang lebih diutamakan adalah menjaga kesehatan tubuh kita dibanding tetap menjalankan ibadah, namun akan berpotensi terancamnya kesehatan tubuh karena terpapar virus.
ADVERTISEMENT
Hal ini dilandasi dari pemahaman bahwa menghindari terjadinya resiko bahaya lebih diutamakan daripada menghasilkan suatu kemaslahatan (Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalb al-Mashalih). Maka tidak menjalankan ibadah kolektif pada saat masa pandemi ini, bukan berarti anti terhadap syariat, justru sikap demikian merupakan bagian dari menjalankan aturan syariat.
Terlebih berbagai institusi keagamaan kredibel di negeri ini (MUI, NU, Muhammadiyah) sudah sejak awal menerbitkan fatwa tentang bolehnya tidak melaksanakan salat Jumat ketika akan beresiko semakin merebaknya virus COVID-19 di suatu daerah.
Berdasarkan berbagai ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdiam diri di rumah dengan menerapkan physical distancing merupakan jalan utama dalam menjaga tidak tersebarnya virus COVID-19 ini. Langkah demikian merupakan sebuah bentuk ibadah sebab akan mencegah terjadinya risiko bahaya kesehatan (Dar’ul Mafasid) yang merupakan salah satu ajaran syariat islam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masyarakat sebaiknya tidak terlalu panik dan merespons terlalu berlebihan dalam menghadapi pandemi ini. Tingkatkan rasa waspada dengan tetap berbaik sangka (Husnudzan) bahwa nantinya pandemi ini akan berakhir. Hal demikian sesuai dengan ungkapan ulama pakar kedokteran Islam, Ibnu sina:
الوهم نصف الداء، والإطمئنان نصف الدواء، والصبر أول خطوات الشفاء
“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”. Walla