Posisi Seorang Menteri (Wazir) Dalam pandangan islam.

Ubaidillah Amin Moch
Santri Kyai NU Yang ingin mengabdi untuk negeri, Bukan orang Baik, ingin menjadi baik
Konten dari Pengguna
17 April 2021 23:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ubaidillah Amin Moch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam Syariat Islam memang tidak mengatur secara spesifik tentang sistem kenegaraan yang wajib diterapkan dalam sebuah negara. Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar yang harus wujud dalam sebuah negara agar negara dapat terkelola dengan baik. Prinsip-prinsip ini seperti prinsip keadilan, amanah dan musyawarah. Maka sistem demokrasi, teokrasi, ataupun kerajaan yang dianut oleh sebuah negara bukanlah hal yang dipersoalkan dalam Islam, asal dalam pelaksanaannya dijalankan dengan nilai-nilai universal islam di atas.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Agama Islam secara spesifik menentukan fondasi dasar dalam tegaknya sebuah negara bahwa wajib hukumnya untuk mengangkat seorang pemimpin atau nashbu al-Imamah bagi setiap masyarakat. Kekuasaan Imam merupakan kekuasaan yang absolut, sehingga selain pada urusan duniawi, Imam juga mengatur tentang urusan ukhrawi. Kita lihat bagaimana Khulafa’ur Rasyidin betul-betul menjadi acuan masyarakat arab saat itu baik dalam hal dunia maupun agama. Prototipe kepemimpinan seperti inilah yang dipandang ideal untuk diterapkan dari masa ke masa.
Imam pada saat itu biasa disebut sebagai Khalifah atau ‘Amirul Mu’minin. Dalam konteks negara bangsa (Nation-State) seperti sekarang, Imam lebih layak diposisikan layaknya jabatan presiden yang memiliki wewenang sebagai pelaksana mandat rakyat.
Sedangkan kementerian baru mulai dilembagakan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Jabatan menteri saat itu disebut dengan wazir. Tugas wazir sepenuhnya adalah membantu Imam dalam menerapkan berbagai kebijakan strategis dalam bidang-bidang tertenu.
ADVERTISEMENT
Ulama’ pakar ilmu politik islam, Imam al-Mawardi membagi lembaga wazir dalam dua kategori, yakni Wuzarah Tafwid dan Wuzarah Tanfidz. Wuzarah tafwid memiliki wewenang yang lebih luas dari pada wuzarah tanfidz, sebab wuzarah tafwid selain berfungsi sebagai pelaksana, juga berfungsi menyusun kebijakan dan membentuk visi-misi lembaganya sendiri. Sedangkan Wuzarah tanfidz hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Imam, tidak ada ruang bagi lembaga ini untuk menyusun visi-misi lembaganya sendiri, sebab sudah ditentukan oleh Imam. (Al-Mawardi, al-Ahkam as-Shulthaniyyah, Hal. 22)
Jika gambaran pemerintahan di atas diterapkan dalam konteks Indonesia, Presiden memiliki peran sebagaimana peran Imam. Sedangkan para menteri menempati posisi wazir. Lantas apakah posisi menteri tergolong wuzarah tafwidh atau wuzarah tanfidz?
Dalam menentukan hal ini penting kiranya kita simak salah satu sambutan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, bahwa “Tidak ada Visi-Misi Menteri, Yang ada Visi-Misi Presiden”. Berpijak pada ungkapan tersebut dapat dipastikan bahwa posisi kementerian di Indonesia lebih memiliki kesamaan dengan wuzarah tanfidz. Sehingga seluruh kebijakan dalam kementerian harus berpedoman pada arahan serta visi-misi dari presiden.
ADVERTISEMENT
Sebab posisi menteri sepenuhnya berada dalam kuasa presiden, jika terdapat salah satu menteri yang keluar dari visi-misi presiden, maka hak presiden sepenuhnya berkehendak atau tidak untuk mengganti ( reshuffle) menteri tersebut. Bahkan dalam pandangan Islam, mengganti menteri yang sudah tidak loyal atau kurang profesional adalah sebuah anjuran. Mengingat salah satu syarat sebagai pejabat publik adalah adanya ahliyyah (Kapabilitas).
Dalam Islam juga mengenal kaedah Tasharruf al-Imam ala ar-Ra’iyyah Manuthun bi al-Maslahah (Kebijakan Pemimpin pada Rakyat harus berdasarkan prinsip Kemaslahatan). Sebagian implementasi dari kaedah ini dapat diwujudkan dengan selektif dalam memilih menteri. Karena peran menteri sangat berpengaruh dalam terciptanya kemaslahatan pada rakyat. Jika peran sebagian menteri dipandang kurang optimal dalam menjalankan amanah tugas yang diemban, maka dalam konteks demikian, Presiden tidak perlu ragu untuk mengganti menteri tersebut dengan memilih orang lain yang lebih kompatibel dalam menjalankan tugas tsb. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT
ubaidillah amin moch