Dokter Edi: Syukuri dan Nikmati Hari-hari yang Tersisa

16 November 2017 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tak semua orang beruntung dapat berumur panjang. Sebagian bahkan mati amat muda, di usia kanak-kanak. Itulah yang misalnya terjadi pada para pasien anak penderita kanker dan HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Kematian jelas tak bisa dilawan, termasuk oleh bocah-bocah yang mestinya sedang riang bermain bersama kawan-kawan sebaya mereka. Tapi, kematian bisa disambut, dipersiapkan dengan baik, agar hari-hari yang tersisa dijalani dengan gembira dan ringan.
Untuk itulah metode perawatan paliatif diperkenalkan. Paliative care ini pula yang dijalani oleh sebagian anak penderita kanker, terutama stadium 4 dan fase terminal yang tak bisa lagi diobati.
Salah satu tokoh yang berkecimpung dalam perawatan paliatif ini ialah Dokter Edi Tehuteru, ahli onkologi pediatri di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Selasa (31/10), kumparan menyambanginya untuk berdiskusi tentang metode perawatan yang belum terlalu dikenal di Indonesia ini.
Edi juga bercerita singkat tentang ibunya yang terkena kanker. Kisah itu pula yang sering menjadi motivasi bagi pasien-pasien ciliknya. Berikut petikan wawancaranya:
ADVERTISEMENT
Apa sesungguhnya perawatan paliatif?
Perawatan paliatif adalah perawatan yang diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang memiliki penyakit serius atau mengancam jiwa seperti kanker.
Klien paliatif, khususnya yang saya tangani, adalah anak-anak. Intinya, perawatan ini bersifat holistik, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, seperti penanganan nyeri dan luka, psikologis, sosial, dan spiritual pasien dan keluarganya.
Perlu ditekankan, perawatan paliatif itu sudah mulai dilakukan sejak pasien didiagnosis. Misalnya dia didiagnosis kanker stadium awal, kan ada penanganan pada nyeri. Itu sudah disebut paliatif, sekalipun stadium awal.
Tidak benar bahwa paliatif digunakan saat dokter mengatakan sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Walau memang banyak pasien yang datang ke sini sudah dalam kondisi parah.
ADVERTISEMENT
Kalau bicara tentang paliatif, saya bedakan dalam dua kelompok besar. Pertama adalah kelompok maksimalis, yaitu mereka yang mau berjuang sampai akhir. Kalau perlu keluarganya meninggal di ICU.
Kedua adalah kelompok realiatis, yakni keluarga-keluarga yang menyadari bahwa sudah tidak ada lagi tindakan medis yang bisa dilakukan oleh dokter, dan akan lebih baik jika anaknya dibawa pulang ke rumah, sehingga mereka dapat menyenangkan anaknya di rumah.
Ilustrasi infus (Foto: Thinsktock)
Dalam praktik sehari-hari, pada saat kondisi anak masih bagus, saya tanyakan kepada orang tua, seandainya ada hal buruk terjadi pada anak ini, apa yang Ibu harapkan dari saya untuk saya lakukan terhadap anak Ibu?
Jika mereka mengatakan “Pokoknya saya mau berjuang hingga akhir, dok”, nah itu saya masukkan ke dalam kelompok maksimalis.
ADVERTISEMENT
Jika orang tuanya kemungkinan kelompok realistis, saya akan tanya, “Jika kami persiapkan anak Ibu untuk pulang, apakah menurut Ibu lebih baik atau bagaimana?”
Biasanya orang tua menjawab “Memang bisa pulang ya, Dok.” Saya jawab, “Kalau Ibu menginginkan untuk dibawa pulang, akan kami persiapkan apa yang perlu dipersiapkan, sehingga saat di rumah, orang tua sudah bisa merawat anaknya--tentu dengan bantuan tim yang akan melakukan home care ke rumah.
Tapi jika keluarga mereka adalah kelompok maksimalis, kami tetap menghargai nilai-nilai yang dianut. Karena kami tahu saat anak ini meninggal, kehidupannya sudah selesai dan yang tersisa di dunia ini adalah keluarganya.
Saya tidak mau orang tuanya menyesal karena anaknya tidak dimasukkan ke ICU. Dalam kalimat sederhana, orang tuanya bisa mengatakan “Tuh kan, coba kalau dokter masukkan anak saya ke ICU, mungkin hari ini masih ada.”
ADVERTISEMENT
Yang ada sebuah penyesalan, dan saya tidak mau itu terjadi. Jadi kami ikuti keyakinan yang dianut oleh keluarga.
Perawatan paliatif itu spesifiknya seperti apa sih?
Tergantung pada gejalanya. Yang pasti, kanker itu tidak diam. Dia akan menyebar dan membesar. Jika semakin besar, gejala yang paling banyak dijumpai adalah nyeri, dan kami lakukan tata laksana nyeri--bukan untuk penyembuhan, tetapi untuk mengurangi nyerinya agar kualitas hidup membaik.
Kalau tidak nyeri, si anak bisa sekolah, bisa jalan-jalan. Mungkin dia bisa melakukan apa yang dia ingin lakukan.
Jadi di paliatif ini, kami pastikan anak-anak ini--sekalipun sudah tidak bisa disembuhkan--memiliki kualitas hidup yang baik.
Polanya berubah dari to cure jadi to care, karena ada satu titik di mana kami sudah tidak bisa menyembuhkan lagi. Pola to care untuk melayani dan menambah kualitas hidup menjadi lebih baik.
Suster Rina bersama pasiennya (Foto: rachel-house.org)
Apa saja yang dipersiapkan pada hari-hari terakhir pasien paliatif?
ADVERTISEMENT
Orang tuanya dipersiapkan, diberi tahu, “Saya tidak tahu harinya kapan, tapi mungkin dia akan meninggalkan dunia lebih dulu dari kita.
Karena kami sadar ada satu titik di mana kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Jadi bersyukur dan nikmatilah hari-hari yang tersisa itu.
Ibu saya juga terkena kanker paru. Setiap hari, saya mengecek ibu saya, apakah dia masih bernapas atau tidak. Jika masih, saya bersyukur pada Tuhan, “Terima kasih Tuhan memberikan kesempatan pada saya 24 jam lagi untuk bersama Mama.”
Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok. Jadi mesti sama-sama syukuri dan nikmati waktu kita hari ini.
Dokter Edi Tehuteru (Foto: Ridho Robby/kumparan)