news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

“Tak Dengar Suara Mama Tak Apa, Dengar Suara Tuhan Saja”

16 November 2017 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kepergian Meriel Ambrosine menjadi kehilangan besar dalam hidup Lenah. Sebuah pukulan telak baginya. Hanya kepada Tuhan, Lenah menyandarkan diri--persis seperti yang ia ajarkan pada Meriel, putri sulungnya itu, kala didera kanker darah ganas.
ADVERTISEMENT
Sempat bertahan dari kanker setelah berjuang dua tahun, Meriel tak berhasil lolos dari serangan yang kedua. Saat itu, kanker menjalar hingga ke otak, memorak-porandakan daya tahan tubuhnya.
Lenah, Ibu Meriel bocah pengidap kanker darah. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Lenah sebagai ibunda Meriel, tahu persis penderitaan putri sulungnya. Dan karenanya kemudian memilih perawatan paliatif. Ia ingin Meriel bisa berbahagia di ujung ajal.
Berikut petikan perbincangan Lenah dengan kumparan tentang perjuangannya mengupayakan yang terbaik bagi sang putri yang dihinggapi kanker.
Bagaimana awal tahu Meriel terkena kanker?
Pertama ketahuan tahun 2013, bulan Maret. Dia itu dari kecil enggak pernah sakit. Tapi waktu itu Meriel tipes 10 hari. Setelah sembuh, pagi-pagi saya lihat Meriel kok pucat. Anaknya bilang enggak ngerasa sakit apa-apa, tapi saya bawa dia ke Rumah Sakit Husada. Ternyata HB-nya cuma 5.
ADVERTISEMENT
Saya kaget ke mana HB-nya. Saat itu dokter bilang anemia, tapi dokter juga bingung kok ini HB-nya hancur.
Tiga minggu di rumah, dia drop lagi. Saya bawa lagi ke dokter yang sama. Dokternya bilang sepertinya ini bukan anemia, tapi menjurus ke leukemia, jadi harus cek darah tepi. Prediksinya, kalau enggak talasemia, ini menjurus ke leukemia.
Saya bawa ke Cipto (RSCM), hasilnya positif leukemia, harus dirawat. Tapi di Cipto itu harus ngantre. Saya bawa pulang, nunggu antrean ruangan. Anak itu tangannya sudah bengkak.
Tiga minggu di rumah, drop lagi. Tiga minggu sekali, saya bawa ke RS Husada buat transfusi. Ketiga kali ke Husada, dokternya bilang, “Bu, kami tidak bisa mengobati kanker. Ibu harus ke dokter kanker secepatnya.”
ADVERTISEMENT
Saya mau gimana lagi, di Cipto aja nunggunya bisa sebulan. Saya minta tolong di Husada ditransfusi aja, sampai Cipto kosong.
Meriel menjalani perawatan. (Foto: Dokumen keluarga Meriel)
Akhirnya saya datangi Dokter Bondan (di RS Pantai Indah Kapuk), bawa hasil lab dari Cipto. Dokter Bondan bilang ini positif leukemia, cepat-cepat bawa anaknya ke sini. Saya mikir, ini biayanya gimana. Saya tahu PIK itu rumah sakit orang kaya. Tapi saya percaya aja bisa. Pilihan saya kalau jual rumah, jual rumah deh.
Nah, di PIK ini harus cek lab ulang ke Singapura. Saya bilang, “Dokter, saya tidak punya paspor, gimana mau ke Singapura.”
Dokter Bondan bilang, “Ibu, tenang. Banyak yang bisa dititipin. (Cek lab di Singapura supaya jelas). Saya enggak mau yang sakit kepala, nanti saya obatin perut. Harus jelas. Saya harus fokus.
ADVERTISEMENT
Tapi saya nggak ada dana. Itu 4.000 dolar, dari mana saya punya? Saya tawar, “Dok, nggak ada yang bisa dikurangin tuh?” Namanya orang tua untuk anak, saya tebal muka, ngomong apa adanya memang nggak ada duit.
Nah, dari situ, puji Tuhan, dokternya bilang, “Ya udah Bu, nanti saya lapor sama Prof Allan yang di Singapura, minta keringanan.” Bersyukur dikasih, bisa 2.000 dolar.
Hasil dari Singapura, Meriel positif leukemia mix. Dokter Bondan kaget baru lihat lagi ada kasus mix ini. Dari situ kami jalani pengobatan selama hampir 2 tahun, akhirnya survive.
Bagaimana Meriel setelah sembuh?
Dia minta sekolah lagi, tapi enggak mau ngulang kelas. Dia mau langsung SMP. Meriel minta ambil ujian paket A setara SD untuk bisa masuk SMP.
ADVERTISEMENT
Saya daftarin dia ke paket A, karena semangat dia sangat tinggi. Saya tanya, “Meriel, emang kamu bisa?” Katanya, “Mamah tenang aja, kan aku yang ujian.” Ya udah, saya percaya aja sama dia.
Dia ujian di SMP Negeri 4. Setelah ijazah keluar, saya fotokopi dan daftarkan di Kanaan. Dia bulan September baru sekolah (tahun ajaran baru dimulai bulan Juli).
Saya tanya, “Meriel enggak malu rambutnya masih begitu (botak)?” Meriel bilang, “Aku mah cuek aja. Emang aku pikirin.”
Meriel makannya harus steril. Jadi begitu mateng, harus langsung dibawain ke sekolahnya. Enggak boleh nunggu sampai 2 jam. Kata dokter, (kalau sudah 2 jam) itu ada bakteri.
Meriel bersama tim paduan suara (Foto: Dokumen keluarga Meriel)
Meriel selama SMP banyak ikut kegiatan. Saya bingung mau ngizinin atau enggak. Dia mau ikut drama, saya tanya “Kamu capek enggak?” Katanya, “Enggak Mah, peranku cuma dikit. Aku mah duduk doang.”
ADVERTISEMENT
Saya kan bingung. Kalau enggak ngizinin, nanti saya nyesel sendiri. Itu kan kesempatan dia. Tapi saya mikir, apa dia kecapekan.
Pernah juga ikut acara retret ke Cibodas. Awalnya saya enggak ngizinin, tapi dia maksa. Gurunya juga bilang, “Mama Meriel ikut sekalian aja enggak apa-apa buat masakin Meriel. Gurunya kan tau makanan Meriel harus steril. Tapi akhirnya saya pesen aja, saya bawain bahan-bahannya sama penggorengannya, saya bawain botol minumnya. Ikut retret dia.
Kapan tahu kankernya kembali?
Meriel sudah satu tahun sekolah, saat itu bulan September. Meriel bilang, “Mah, kok mata aku samar-samar ngelihatnya.”
Ternyata ada kanker di kepalanya. Mata Meriel semakin lama semakin menonjol. Tiap hari saya bacain ayat-ayat Alkitab, terutama bagian kata-kata yang menguatkan hatinya.
Doa Meriel (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Pas Meriel juga mulai enggak bisa mendengar, dia bilang “Mah, aku kangen deh suara Mamah.” Saya bilang, “Kamu enggak bisa denger Mamah, enggak apa-apa. Kamu dengar suara Tuhan saja.”
ADVERTISEMENT
“Mamah, kok telinga aku sakit ya?” Saya cuman bilang, “Mungkin Tuhan lagi operasi telinga kamu. Imanin aja. Iman kamu yang menyembuhkan kamu.” Saya bilang gitu.
Puji Tuhan, dia perlahan bisa dengar lagi. Pelan-pelan, kata per kata, lama-lama bisa ngobrol bareng.
Siapa yang mengenalkan perawatan paliatif?
Saya ke dokter Edi Tehuteru, diberi tahu oleh SOS (Sahabat Orang Sakit) yang pernah dateng ke rumah. SOS ini ngajakin untuk ke Dokter Edi. Anaknya semula nolak, katanya, “Aku udah enggak mau disuntik-suntik.”
Kami datang ke Dokter Edi, lalu Dokter Edi telepon Suster Rina. Beberapa hari kemudian Suster Rina dateng ke rumah untuk paliatif.
Saya bersyukur Suster Rina dateng. Walaupun di rumah, Meriel jadi enggak merasa kesepian. Orang-orang dari paliatif datang menghibur dia. Jadi dia happy.
ADVERTISEMENT
Mereka bukan cuma ngobatin, juga sambil cerita. Meriel jadi punya temen. Dia enggak merasa sendiri. Setiap minggu ada yang dateng ajak main.
Dari kecil, Meriel ditanami rohani kuat, jadi dia dekat dengan Tuhan. Dia percaya semua di tangan Tuhan.
Meriel menggengam tangan mamanya (Foto: Dokumen Lenah Joseph Pradipta/kumparan)
Bagaimana hari terakhir Meriel?
Harusnya hari itu Meriel kemoterapi, tapi dia nolak. Meriel bilang, “Mamah, kemonya minggu depan aja ya. Aku mau nyiapin tenaga untuk besok. Mamah jangan marah ya.” “Ya udah, enggak apa-apa,” kata saya.
Hari itu Kamis malem, Meriel pegang saya, genggam saya erat banget. Meriel bilang, “Mamah tidur aja, aku enggak apa-apa.”
Jam 2 pagi, napas Meriel tersendat. Saya cari-cari ambulans susah, akhirnya naik taksi ke rumah sakit. Sampai rumah sakit, Meriel sudah pergi. Cepet banget. Dia pergi enggak merasa kesakitan.
ADVERTISEMENT
Kita lahir ke dunia ini, pasti Tuhan punya tujuan untuk masing-masing. Meriel dilahirkan di dunia ini pasti punya tujuan.
Dari kecil anak mesti ditanami rohani, jadi jangan sampai hilang harapan.
Rest in peace, Meriel (Foto: Dokumen keluarga Meriel)
Damailah di pangkuan Tuhan, Dear Meriel.