Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ada banyak cara untuk mengenang Kiai Maimoen Zubair, alias Mbah Moen (panggilan warga nahdliyin di Pantura Jawa Tengah untuk beliau), kiai sepuh yang baru saja wafat di Makkah pada Selasa, 5 Zulhijah 1440/6 Agustus 2019. Salah satunya: mengenang beliau sebagai “magnet” bagi tamu-tamu yang datang dari segala penjuru Tanah Jawa untuk sowan dan meminta berkah.
ADVERTISEMENT
Di Jawa Tengah, saat ini sekurang-kurangnya ada tiga “magnet ziarah”--Habib Luthfi Pekalongan, Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus dari Rembang, dan Mbah Moen dari Sarang, sebuah daerah yang terletak sekitar 48 kilometer sebelah timur Rembang.
Sejak berita wafatnya Mbah Moen menyebar Selasa pagi yang lalu, media sosial dibanjiri ratusan, mungkin ribuan orang-orang yang memberikan kesaksian tentang pertemuan dan kesan mereka mengenai sosok karismatik ini. Hampir sebagian besar disertai dengan foto-foto pertemuan mereka di "ndalem" (rumah) beliau.
Kita beruntung hidup di “abad selfie”. Kita bisa menikmati ratusan foto yang dibagikan oleh mereka yang pernah ziarah kepada beliau. Banyak di antaranya amat mengharukan. Tak bisa dinafikan, Mbah Moen memanglah sosok yang amat “fotogenik”. Mimik dan gesture alamiah beliau sangat memanjakan orang-orang yang hendak memiliki foto sosok kiai sepuh dengan karisma yang kuat. Di semua foto yang saya lihat, Mbah Moen tampil dengan pose yang menampakkan karisma dan aura kesepuhan yang begitu "cemlorot".
ADVERTISEMENT
Sebagian besar kesaksian para "pesowan" (peziarah) itu memperlihatkan betapa mereka sangat beruntung mendapatkan kesempatan “tabarrukan”, memperoleh berkah dengan berjumpa dengan beliau, mencium tangan, kadang wolak-walik. Mereka juga terkesan karena pesan-pesan yang diberikan Mbah Moen, terutama yang berkaitan dengan NKRI dan Pancasila.
Siapa pun yang pernah sowan ke kiai karismatik dari Rembang ini akan tahu benar betapa menyenangkannya Mbah Moen sebagai “al-jalis”, teman untuk bercakap-cakap dan ngobrol. Pada menit-menit pertama, seorang tamu mungkin akan merasa sungkan, bahkan takut untuk membuka pembicaraan. Karisma beliau begitu besar.
Tetapi begitu ia berani memulai pembicaraan, mengajukan satu-dua pertanyaan, Mbah Moen akan langsung mengalir deras, dengan petuah, dengan kisah yang kerap unik, dengan sejarah para kiai-kiai Jawa dan "Haramain", dengan pandangan beliau tentang situasi Indonesia terakhir, atau hal-hal kecil lain yang menyangkut kabar keluarga 'si ini' atau 'si itu'. Dalam usia lebih dari 90 tahun, Mbah Moen masih memiliki ingatan yang teramat kuat. Dengan segudang ingatan itu, beliau meng-entertain tamu-tamu dengan “fantastic stories”.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah pembicaraan, Mbah Moen acapkali mendadak memanggil: “Cuuuuuuung!” Ini adalah panggilan akrab khas daerah Sarang dan sekitarnya untuk memanggil anak-anak. Begitu Mbah Moen meneriakkan kata itu, satu-dua santri akan muncul. Biasanya beliau akan meminta santri itu untuk menyuguhkan minuman, atau membagikan kue-kue dan mengedarkannya kepada para tamu.
Pada saat lebaran tiba, puluhan ribu warga nahdliyin akan berbondong-bondong sowan ke “ndalem” para kiai sepuh-karismatik seperti Mbah Moen ini. Inilah ritual tahunan yang, bagi saya, amat menakjubkan. Orang-orang dari pelbagai kelas sosial–rakyat biasa, pejabat, politisi, pengusaha, ibu-ibu rumah tangga, anak-anak muda—menyowani “ndalem” Mbah Moen untuk--dalam istilah warga nahdliyin-- “ngalap berkah”.
ADVERTISEMENT
Sedikit catatan: Kami, para warga nahdliyyin, umumnya, merasa kurang “sreg” menggunakan istilah “rumah” untuk para kiai karismatik yang kita hormati. Karena itu, dalam artikel ini, saya selalu menggunakan kata “ndalem” untuk menyebut rumah tinggal seorang kiai besar seperti Mbah Moen. Mengatakan “rumah Mbah Moen” terasa seperti “su’ul adab”, kurang sopan, dan agak mengganggu dari sudut cita-rasa budaya santri.
Saya ingin membuat perbandingan tentang tiga kiai sepuh di Jawa Tengah. Ketiganya pernah menduduki jabatan tertinggi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), entah sebagai 'Rais Aam' atau 'Mustasyar'. Yaitu: Kiai Sahal Mahfuz, Kiai Maimoen Zubair, dan Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus. Dua yang pertama sudah wafat -- Allahu yarhamuhuma.
Ketiga kiai ini memiliki karakter masing-masing dalam menerima para tamu. Mbah Sahal (begitu kami memanggil beliau di kawasan Pantura) cenderung kurang banyak “ngendikan” (berbicara) saat menerima tamu. Beliau “ngendikan” seperlunya saja, terutama jika berhadapan dengan tamu dalam jumlah besar seperti pada momen lebaran.
ADVERTISEMENT
Hanya tamu-tamu tertentu yang bisa “ngobrol” leluasa dengan beliau, tentang apa saja. Santri akan sangat beruntung jika sowan kepada Mbah Sahal, berbarengan dengan tamu lain (biasanya seorang tokoh atau sosok yang sudah senior) yang sudah biasa ngobrol akrab dengan beliau. Sang santri bisa hanya duduk manis, menonton percakapan mereka. Ini pernah saya alami pada suatu saat.
Gus Mus adalah tipe kiai yang sangat enak diajak “ngobrol”. Tetapi gaya ngobrol beliau beda dengan Mbah Moen. Saya melihat Gus Mus sebagai sosok “story teller”, pengisah yang luar biasa.
Kita bisa ngobrol dengan Gus Mus selama berjam-jam, dan stok cerita beliau tentang apa saja, terutama tentang dunia para kiai, tak akan habis. Terutama jika itu menyangkut kisah Kiai Bisri Mustofa, ayahanda beliau sendiri; atau gurunya, yaitu Kiai Ali Maksum dari Krapyak, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Gus Mus juga sosok yang kaya dengan joke dan humor. Ruang tamu Gus Mus sering bergetar oleh tamu yang tergelak-gelak mendengar joke-joke beliau. Dalam hal ini, Gus Mus meneruskan jejak-langkah sahabat karibnya, yaitu Kiai Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur.
Mbah Moen juga teman bercakap yang luar biasa, tetapi dengan gaya berbeda. Pada dasarnya Mbah Moen juga seorang “story teller” yang hebat. Tetapi kelezatan berjumpa dengan Mbah Moen adalah saat beliau sudah mulai “ngendikan”, menyampaikan petuah yang mirip dengan sebuah ceramah. Ini bisa berlangsung berjam-jam. Dan Mbah Moen bisa menguak informasi apa saja. Tamu, entah kenapa, tak pernah bosan.
ADVERTISEMENT
Bagi warga nahdliyin, “sowan” kiai bukanlah sekedar bertamu biasa. Ini adalah “pisowanan istimewa”. Pada momen itulah santri biasanya minta doa kepada sang kiai, sebelum akhirnya minta diri, sambil mencium tangan beliau, kadang dengan menyelipkan amplop. Isinya bervariasi: bisa hanya dua ribu rupiah saja, bisa ratusan ribu.
Bagi seorang santri, memberi amplop adalah “a token of respect”, tanda penghormatan kepada kiai. Ini tak ada kaitannya dengan gratifikasi. Ini adalah praktik kultural yang menandakan adanya ikatan batin antara guru dan murid. Dengan memberikan amplop itu, seorang santri berharap mendapatkan berkah, tetapi lebih dari itu dia juga ingin memperkuat terus ikatan batin antara dirinya dan sang guru.
Sekarang, ritual "pisowanan" bertambah. Selain ingin mendengarkan petuah, menikmati hidangan makanan yang penuh berkah, dan mendapatkan doa, santri juga mengharapkan bonus lain: selfie dengan "romo-kiai". Mbah Moen termasuk kiai yang dermawan jika diajak foto bersama.
ADVERTISEMENT
Saya tahu, betapa sedihnya warga nahdliyin, terutama yang tinggal di kawasan Pantura, Jawa Tengah. Mereka akan kehilangan “magnet pisowanan” yang paling besar saat ini. Saat Lebaran tahun depan tiba, saya bisa membayangkan betapa sedih dan kangennya mereka pada Mbah Moen. Pada titik ini, saya tak bisa melanjutkan lagi tulisan ini. Saya tak kuat menahan air mata.[]
Ulil Abshar Abdalla, pernah “nyantri pasanan” di pondok Kiai Maimoen Zubair pada 1984.