Memahami untuk Mengomentari

Konten dari Pengguna
22 September 2019 19:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usurna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bulan september 2019 nampaknya menjadi bulan penting bagi proses pemberantasan tindak pidana korupsi di negara tercinta ini. Proses pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang begitu terbuka dan proses perubahan UU KPK menjadi sentral utama penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk komentar pro dan kontra disisipi drama engga kolosal di kantor KPK, yang seolah berubah menjadi panggung konser dari konser musik sampai konser teater yang kadang membingungkan.
Wadah Pegawai (WP) KPK bersama koalisi masyarakat sipil menggelar konser musik dan mimbar bebas yang bertempat di kantor KPK. Entah masih masuk dalam ranah tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi, atau bagian dari upaya mencari panggung. Hanya mereka yang paham.
Bahkan, Band Efek Rumah Kaca (ERK) turut bersuara menyoroti kondisi yang tengah menerpa KPK. Trio Cholil Mahmud, Akbar, dan Airil Nur Abadiansyah yang biasa dipanggil Poppie itu mengunggah sebuah video pendek untuk mengungkapkan perasaan mereka dan mengajak masyarakat mengirimkan video yang mendukung KPK dan menolak revisi UU KPK. Mereka meminta agar video itu dibuat dalam durasi 30 detik dan diunggah ke Instagram dengan memakai tagar #PemakamanKPK.
ADVERTISEMENT
Saya berasumsi, mereka yang bersuara sudah baca pasal demi pasal revisi UU KPK. Mengapa? Karena saya suka berasumsi positif, bahwa berani menyuarakan karena memang sudah baca pasal demi pasal, serta paham. Karena paham itu beda dengan sudah membaca pasal demi pasal.
Tulisan ini akan membahas khusus tentang Pasal Pemberian Kewenangan KPK untuk Mengeluarkan SP3 yang menimbulkan pro dan kontra dari kacamata praktisi, yang tidak lepas dari kacamata akademisi. Jadi kombinasi antara azas formal dan azas material.
Anggota Wadah Pegawai KPK menaburkan bunga diatas nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Saya berasumsi bahwa koalisi masyarakat sipil, termasuk Band ERK paham bahwa SP3 adalah kepanjangan dari Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan paham bahwa SP3 bukan menjadi akhir suatu proses penegakan hukum. Karena SP3 bukan produk putusan pengadilan yang bersifat mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana. Mudah-mudahan ERK pernah baca dan memahami penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
ADVERTISEMENT
Bahwa SP3 bisa dibuka kapanpun manakala ada novum atau alat bukti baru yang bisa dijadikan penyelidikan, maka pihak penyidik (KPK) akan dapat membuka kembali kasus yang sudah dalam kondisi SP3, paham ya Band ERK?
SP3 bukan lonceng akhir kasus korupsi sehingga tidak bisa diproses kembali. Pertanyaannya, apakah penyidik KPK sanggup mencari alat bukti baru? (baca: alat bukti, bukan barang bukti). Mengapa terhadap suatu kasus bisa dilakukan SP3?
Menurut Pasal 109 ayat 2 KUHAP, penyidik dapat mengeluarkan SP3 karena beberapa alasan yaitu:
1. Tersangka meninggal dunia, di KPK ada tersangka yang dijadikan tersangka bertahun-tahun tanpa diproses lanjut entah dengan alasan apa hingga tersangka tersebut meninggal dunia. Nah, tersangka yang tidak pernah diproses oleh KPK ini, sampai saat ini tidak dihentikan kasusnya oleh KPK, mengapa? Karena dengan UU lama, KPK tidak memiliki kewenangan untuk SP3. Apakah penyidik KPK yang menetapkan bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur kelak di liang lahatnya? Itulah mengapa KPK harus punya kewenangan SP3.
ADVERTISEMENT
2. Bukan merupakan tindak pidana (korupsi). Contoh penetapan HP seorang mantan Pejabat Pajak. HP menang praperadilan melawan KPK karena sengketa pajak bukan merupakan wewenang KPK, yang semula diduga merugikan negara juga tidak terbukti di persidangan. Sengketa pajak merupakan hukum khusus. Keberatan pajak bukan merupakan pidana dan bukan wilayah KPK. Juga negara tidak dirugikan seperti yang diungkapkan HP. Nah, untuk kasus inipun sampai saat ini KPK tidak mampu mengeluarkan SP3, mengapa? Ya, karena KPK dengan UU lama tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3.
Dapat disimpulkan sampai saat ini KPK masih dalam status melawan putusan pengadilan karena belum mengeluarkan SP3 terhadap kasus HP. Aneh kan? Makanya, KPK harus punya kewenangan SP3.
3. Kurang alat bukti, dihentikannya suatu kasus karena saat kasus tersebut dikeluarkan SP3, penyidik tidak memperoleh bukti atau memperoleh bukti namun tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. Nah, contoh untuk kasusnya adalah kasus Pelindo 2 di mana penyidik telah berani menetapkan RJL sebagai tersangka, sementara alat bukti belum lengkap. Konon, Pemerintah China menolak memberikan akses untuk memperoleh harga pembanding (padahal ada e-catalogs). Entah sampai kapan status RJL akan bertahan karena KPK dengan UU lama tidak memiliki kewenangan untuk SP3.
ADVERTISEMENT
Tentang kekhawatiran mereka yang kontra dengan pemberian kewenangan SP3 adalah akan adanya potensi terjadinya tawar-menawar kasus, sehingga KPK ke depan akan dapat melakukan praktik transaksional. Nah, bukannya ini justru membuktikan bahwa dalam tubuh KPK telah terjadi praktik transaksional?
Seperti kelakuan Wadah Pegawai yang berkolaborasi dengan koalisi masyarakat sipil dan ICW dengan memanfaatkan media majalah mingguan? Ya, oleh sebab itulah KPK harus diawasi oleh lembaga pengawas, entah apa pun namanya, misalnya Dewan Pengawas.
Tentang Dewan Pengawas akan saya tulis tersendiri. Nah, sekarang mari kita tanya ke KPK, ICW, dan koalisi masyarakat sipil. Ada berapa tersangka KPK yang ulang tahun status tersangkanya karena tidak bisa diproses? Jangan-jangan penetapan tersangkanya karna praktik transaksional.
ADVERTISEMENT
Demikian ulasan tentang SP3 yang bikin heboh, semoga bisa dipahami sehingga bisa komentar yang pas.
*umar surya fana