Siasat Lepas Setya Novanto

Konten dari Pengguna
2 Oktober 2017 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usurna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Setya Novanto (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Setya Novanto (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi ini saya duduk di satu ruang tunggu publik dan ditawari beberapa majalah diantaranya majalah Tempo. Kemalasan tampaknya kalah dengan ketertarikan saya melihat kulit majalah yang menggambarkan sosok terikat rantai, dua gembok dan satu borgol khas polri dengan judul utama "SIASAT LEPAS SETYA NOVANTO" dan tentunya karna saya dikasi gratis majalah ini.
ADVERTISEMENT
Semua halaman saya lewati dan langsung membuka halaman opini dengan judul yang sama yaitu "SIASAT LEPAS SETYA NOVANTO".
Sebagai orang yang menjadi praktisi hukum pidana sejak tahun 1996 hingga sekarang, saya merasa kebingungan membaca opini majalah Tempo edisi 18-24 september 2017 ini. Latar belakang dan pendekatan apa yang dipakai dalam penulisan opini majalah Tempo, apakah pendekatan sosiologis, pendekatan hukum, pendekatan budaya, pendekatan ekonomi atau jangan-jangan pendekatan ilmu dukun.
Terlepas dari obyeknya seorang Setnov, saya merasa aneh dengan sorotan opini Tempo yaitu tentang lembaga praperadilan. Bahkan untuk membuat opini ini terasa lebih hebat, kolom opini berani mendompleng nama dan peristiwa praperadilan (prapid) yang jelas-jelas sudah selesai secara hukum formal yaitu prapid an. seorang jendral Polri dan seorang mantan pejabat tinggi pajak, yang menurut saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang ditulis dalam opini prapid.
ADVERTISEMENT
Saya berusaha berandai-andai apakah opini ini terpaksa atau dipaksa dibuat untuk membantu beberapa penyidik KPK yang tidak professional agar nampak profesional atau lebih luas lagi terpaksa atau dipaksa atau malah memaksa diri ingin menutupi ketidakprofesionalan oknum KPK?
Lembaga prapid tugasnya sangat sederhana, hanya memastikan penyidik (polri, kejaksaan, kpk, ppns) telah memiliki 2 alat bukti sehingga berani melakukan upaya paksa terhadap seseorang, baik upaya paksa penangkapan, penahanan, penetapan seseorang menjadi tersangka. Disamping itu prapid juga memeriksa apakah suatu penghentian penyidikan dan penuntutan sah atau tidak.
Yang membuat saya ragu terhadap latar belakang opini bukan dari pendekatan hukum adalah adanya kekhawatiran lembaga prapid akan menghancurkan pekerjaan penyidik KPK, karna jika opini memiliki latar belakang pendekatan hukum (walaupun ahli teori saja tanpa pernah menjadi praktisi) tidak perlu ketakutan dengan lembaga prapid, jangan-jangan memang opini tempo mewakili ketidak profesionalan beberapa penyidik KPK dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengumpul alat bukti.
ADVERTISEMENT
Bahkan secara khusus, opini Tempo merasa perlu membahas penetapan tersangka yang sebelumnya tidak menjadi obyek prapid dan pada akhirnya menjadi obyek prapid oleh putusan MK. Seandainya, sekali lagi seandainya opini Tempo setidaknya sedikit saja menggunakan pendekatan pengantar hukum pidana Indonesia, pasti akan paham bahwa penangkapan dan penahanan adalah bagian dari upaya paksa penyidik (termasuk didalamnya penetapan seseorang menjadi tersangka, penyitaan, penggeledahan, ), saya sarankan untuk belajar kembali azas-azas hukum acara pidana Indonesia.
Penetapan oleh MK hanya penegasan formal terhadap materi yang sebenarnya sudah terwakili pada frasa penangkapan dan penahanan (yaitu upaya paksa). Lebih dahsyat lagi opini malah menyarankan lembaga prapid untuk dibenahi (atau bahasa halus dari dihilangkan dari hukum acara pidana?)
ADVERTISEMENT
Bukankah lebih baik mengembalikan kemampuan profesionalisme penyidik KPK yang dilakukan?
Bukankah mantan ketua KPK pernah menyampaikan standar penyidik KPK dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka bukan lagi memiliki 2 alat bukti namun malah 4 alat bukti, dengan alasan kalau yang dua dipatahkan, maka masih punya dua lagi.
Bukankah KPK sendiri tidak taat azas formal dalam mengangkat penyidiknya dengan suka-suka pimpinan KPK tanpa taat pada azas dalam KUHAP (baca pasal tentang siapakah penyidik menurut KUHAP).
Seandainya Majalah Tempo mau bertanya kepada KPK, ada berapa masyarakat yang sudah diumumkan menjadi tersangka namun sampai saat ini tidak diproses alias digantung, bahkan sampai meninggal, status tersangka masih menempel pada almarhum. Apakah itu yang dimaksud penyidik professional?
ADVERTISEMENT
Sebaiknya Tempo menyampaikan kepada oknum penyidik KPK yang tidak profesional untuk belajar kembali kepada KUHAP dan menjadi penyidik yang baik tanpa pesanan namun semata-mata untuk mencari ladang amal sebagai bekal di akherat nanti, semua akan mati dan ditanyakan pertanggungjawaban perbuatannya di dunia, termasuk saya dan penulis opini Tempo.
Jangan-jangan tulisan saya malah menaikan penjualan Tempo karna banyak yang pengen baca opini Tempo yang....
Jakarta , September 2017