Kemandirian Obat, Tanaman Obat, dan Industri Halal di Indonesia

NEWS UAD
Informasi terkini Universitas Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
21 April 2022 8:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NEWS UAD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan seminar nasional dengan tajuk “26 Years of Dedication and Impact: Producing Excellent Pharmacists” pada Sabtu, 17 April 2022. Acara digelar secara daring melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube Farmasi UAD. Hadir sebagai pemateri yaitu Prof. Dr. apt. Nurfina Azam, S.U. sebagai dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Prof. Dr. apt. Nurkhasanah, M.Si. yang merupakan dosen Farmasi UAD.
ADVERTISEMENT
Seminar ini merupakan salah satu dari rangkaian Milad Farmasi ke-26 yang diselenggarakan oleh Fakultas Farmasi UAD.
Prof. Dr. apt. Nurfina Azam, S.U. pemateri Seminar Nasional yang diadakan Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Foto: Farida)
Nurfina menyampaikan mengenai penelitian dan pengembangan produk alami menuju kemandirian obat. Apa yang dapat dilakukan dengan produk alami (tanaman obat)? Berbicara mengenai tanaman obat, tentunya bisa dilakukan menjadi sebuah penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pengobatan kesehatan, dan produk siap jual. Indonesia merupakan megasenter keanekaragaman hayati di dunia, sebanyak 30.000 jenis tumbuhan dengan 7.000 di antaranya berkhasiat sebagai obat. Sehingga, potensi sumber daya alam hayati di Indonesia terdapat 9.606 spesies tanaman obat, yang 3‒4 % dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial sedangkan ada 350 spesies tanaman obat yang teridentifikasi.
“Melihat tanaman obat di Indonesia melimpah, penelitian banyak tetapi tidak mendalam dan komprehensif. Nah, bagaimana dengan obat di Indonesia apa yang dapat dilakukan? Obat yang akan di-publish itu harus melewati serangkaian uji, sayangnya di Indonesia tidak terus menerus dilakukan. Kendala yang terjadi yaitu budidaya tanaman, proses produksi, pengembangan produk dan pemasaran, penyediaan bahan baku tidak seimbang dengan kebutuhan, serta ketidakseragaman mutu tanah yang berdampak pada ketidakseragaman kandungan senyawa,” papar Nurfina.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Nurkhasanah menjelaskan prioritas riset halal untuk mendukung perkembangan industri halal. Visi Indonesia yakni menjadi pusat industri halal di dunia 2024, mengingat negara ini mempunyai populasi muslim terbesar di dunia. Permintaan pasar untuk produk-produk Islam sangat besar, sehingga halal menjadi isu yang sangat sensitif saat ini. Permasalahan industri halal Indonesia yaitu kontribusi berdasar nilai ekspor baru berkisar 3,8% dari total pasar halal. Padahal, Indonesia adalah konsumen produk makanan minuman halal terbesar (114 miliar USD). Produk beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal seperti makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan uang dipakai. Itu banyak digunakan oleh masyarakat. Selain itu, produk jasa pun harus bersertifikat halal seperti jasa penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, dan penyajian.
ADVERTISEMENT
Terakhir ia menyampaikan, “Salah satu karakteristik negara maju adalah besarnya peran penelitian dalam mengembangkan industri. Tantangan industri halal saat ini adalah ketersediaan bahan baku dan bahan pendukung yang terjamin kehalalannya, juga pengembangan ekosistem ekonomi syariah secara umum. Tema riset yang berdampak tinggi yaitu riset pengembangan material, riset pengembangan proses, dan riset pengembangan autentifikasi.” (frd)