Elsa, Bayi 4 Bulan di Sumsel, Meninggal karena Radang Paru-paru

Konten Media Partner
17 September 2019 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Elsa Pitaloka, bayi berusia 4 bulan, yang meninggal akibat Pneumonia di Sumsel. (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Elsa Pitaloka, bayi berusia 4 bulan, yang meninggal akibat Pneumonia di Sumsel. (Foto: istimewa)
ADVERTISEMENT
Seorang bayi berusia empat bulan, Elsa Piatloka, meninggal dunia usai mengalami sesak napas. Sebelumnya Elsa diduga menjadi korban kabut asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang melanda Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Ar-Rasyid Palembang, Elsa meninggal akibat radang paru-paru (pneumonia) dan radang selaput otak (meningitis sefalis) dari infeksi saluran pernapasan bawah.
"Kecurigaan kita, penyebab kematian bayi karena peradangan selaput otak dan radang paru-paru. Kalau soal kabut asap, kita tidak tahu. Kita hanya melihat yang terjadi saat dirawat berdasarkan fakta medis, dasarnya ada,” kata Toni, Selasa (17/9).
Toni mengatakan, saat itu Elsa tiba di RSI pada pukul 11.50 WIB, Minggu (15/9), dengan status pasien umum, bukan rujukan dan langsung menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saat itu, Elsa sudah mengalami penurunan kesadaran.
"Berdasarkan keterangan keluarga, bayi memiliki riwayat demam dan batuk pilek kurang lebih selama sepekan," katanya.
ADVERTISEMENT
Lalu, kata Toni, dari hasil keterangan keluarga, Elsa sebelumnya sudah dibawa berobat ke bidan desa, namun disarankan untuk ke rumah sakit. Kemudian, sebelum dibawa ke rumah sakit, bayi sudah tidak mau menyusu dan tidak menangis.
Toni bilang, saat dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang di IGD, terdapat napas cuping hidung dan terdengar suara bronchi di daerah paru-paru Elsa. “Itu menunjukkan adanya infeksi saluran pernapasan bawah. Hasil laboratoriumnya itu menunjukkan tanda-tanda infeksi. Itu sel darah putihnya tinggi," katanya.
Toni mengatakan setelah melakukan pemeriksaan awal kepada bayi, pihak rumah sakit memberikan oksigen dan obat antibiotik serta melaporkan kondisi Elsa ke dokter spesialis anak. Kemudian, dokter spesialis anak menginstruksikan agar bayi dirujuk ke RSUP dr. Mohammad Hoesin (RSMH), Palembang.
ADVERTISEMENT
Namun, berdasarkan sistem informasi rujukan terintegrasi (sisrute) online pada pukul 15.16 WIB, ruang pediatric intensive care unit (PICU) penuh sehingga harus menunggu.
Elsa kemudian dirawat di bangsal anak sambil menunggu rujukan pada pukul 17.30 WIB. 15 menit kemudian, dokter spesialis anak kembali memeriksa bayi Elsa dan didapati penurunan kesadaran, juga tetap ada napas di cuping hidung dan suara bronchi.
Dokter meningkatkan dosis oksigen, antibiotik, serta pemberian steroid sembari persiapan merujuk ke RSMH. Akan tetapi, pada pukul 18.40 WIB, denyut jantung bayi Elsa tidak terdengar dan dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) oleh dokter jaga.
RJP yang diberikan tidak direspons pasien, hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia, disaksikan oleh perawat ruang rawat inap,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Dokter Spesialis Anak RSI Ar-Rasyid, Azwar Aruf, mengatakan pihaknya tidak bisa menyimpulkan penyebab kematian secara sederhana karena ada proses infeksi dari gejala, tanda, dan pemeriksaan penunjang.
“Kita tidak bisa menyatakan langsung. Cuma, prosesnya ini adalah proses kecurigaan berdasarkan apa yang sudah kita lakukan,” katanya.
Dia bilang belum bisa dipastikan penyakit mana yang lebih dominan antara radang selaput otak dan radang paru-paru yang menyebabkan kematian bayi tersebut. Akan tetapi, infeksi kedua penyakit tersebut, bisa saling menyebabkan, memperberat, ada memberikan dampak komplikasi, hingga akhirnya menyebabkan bayi meninggal.
"Faktor pemicu pneumonia banyak, bisa ketularan batuk pilek dari lingkungan, orang terdekat atau paling umum dari bakteri saluran pernapasan," katanya.
"Kabut asap saya tidak mendapatkan informasi mengenai faktor lingkungannya. Hanya dilihat dari sudah demam satu minggu, batuk pilek, kemudian pemeriksaan fisiknya ada radang paru-paru. Hasil laboratorium, leukosit meningkat ini cenderungnya ke arah infeksi bakteri,” lanjut Azwar.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, dirinya memastikan infeksi di paru-paru maupun selaput otak ini menyebar karena faktor eksternal, bukan karena penyakit bawaan lahir. Lingkungan pun hanya menjadi salah satu faktor saja, namun pihaknya tidak bisa memastikan seluruh faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi tersebut.
“Kabut asap bisa jadi faktor risiko, tapi bukan penyebab utama. Kabut asap bisa memperparah infeksi, tapi tidak bisa kita pastikan. Kalau infeksinya sudah terlanjur berat juga tanpa kabut asap bisa memburuk. Istilah ISPA itu kurang spesifik,” katanya. (jrs)