Kisah 2 Gadis asal Sumsel yang Diduga Jadi Korban Perdagangan Manusia

Konten Media Partner
8 November 2019 21:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kedua korban VA dan NZ yang menjadi korban perdagangan manusia. (foto: W Pratama/Urban Id)
zoom-in-whitePerbesar
Kedua korban VA dan NZ yang menjadi korban perdagangan manusia. (foto: W Pratama/Urban Id)
ADVERTISEMENT
Kasus perdagangan manusia (human trafficking) seolah tak ada habisnya. Bahkan kini dua gadis asal Sumatera Selatan, turut menjadi korbannya. Mereka adalah VA (22 tahun), dan NZ (22 tahun), keduanya sempat menjadi korban sindikat perdagangan manusia hingga 'dijual' ke Malaysia.
ADVERTISEMENT
Dijumpai di kediamannya yang berada di Sekip, Kecamatan Kemuning, Kota Palembang, VA mengatakan kasus tersebut berawal pada 21 Agustus 2019, saat itu kedua gadis yang masih saudara sepupu ini mencari lowongan pekerjaan (loker) sebagai Tenaga Kerja Indoensia (TKI). Kala itu keduanya tak sengaja menemukan informasi melalui grup 'Loker Sumsel' di Facebook.
"Iya, jadi saya sempat menghubungi kontak telepon yang tertera di loker tersebut. Tapi tujuannya hanya untuk bertanya dahulu atau mencari tahu mengenai loker yang ditawarkan," kata VA, Jumat (8/11).
Akan tetapi, selang empat hari kemudian, VA dihubungi oleh LD yang mengaku dari sebuah agensi TKI di Surabaya. Mereka kemudian menginformasikan jika ada loker formal untuk menjadi waitress dan kasir di Malaysia. Namun, tawaran tersebut tidak langsung diterima, sebab pada saat itu mereka juga masih menunggu pengumuman penerimaan kerja dari salah satu perusahaan BUMN yang ada di Sumsel.
ADVERTISEMENT
"Tapi pada tanggal 28 Agustus, pihak agensi itu kembali menghubungi dengan alasan ingin wawancara biasa. Kemudian, mereka juga meminta agar kami mengirimkan foto identitas, ijazah, dan lainnya terlebih dahulu melalui WhatsApp," kata VA.
Selanjutnya, kata VA, pada 30 Agustus ternyata pihak agensi sudah mengirimkan tiket pesawat untuk keberangkatan ke Surabaya tanpa sepengetahuan mereka. Merasa bingung dengan hal itu, VA kemudian mengubungi LD. Sebab, mereka sendiri pada dasarnya belum menyetujui untuk ikut bekerja sebagai TKI di agensi tersebut.
"Tapi saat itu kami justru diancam akan dilaporkan ke polisi kalau sampai tidak berangkat, dengan alasan penipuan dan sebagainya. Selain itu, kami juga diminta untuk tidak memberitahukan kalau akan bekerja di Malaysia," katanya.
ADVERTISEMENT
Takut dengan acaman itu, keduanya pun akhirnya berangkat ke Surabaya. Tiba di Bandara Juanda, Sidoarjo, VA dan NZ dijemput oleh LD bersama suaminya EM. Mereka kemudian dibawa ke rumah LD yang berada di Blitar, mereka diminta sementara waktu menunggu proses keberangkatan sembari mengurus dokumentasi yang dibutuhkan.
Ilustrasi human trafficking. (dok. kumparan)
"Kurang lebih sekitar 3 minggu di Blitar, kami juga tidak boleh memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada keluarga dengan alasan kalau tidak maka paspor kami tidak akan jadi," katanya.
VA bilang, saat itu mereka juga sempat dipindahkan untuk menginap ke daerah Tulungagung. Di sana ternyata terdapat 10 orang lainnya dari berbagai daerah berbeda yang mengalami nasib serupa.
"Iya, setahu saya ada yang dari Bandung, lampung, Maluku, dan daerah Sumsel juga. Selebihnya dari daerah di sekitar jawa Timur," katanya.
ADVERTISEMENT
VA dan NZ semakin curiga tak kala saat membuat paspor, mereka diminta untuk menyebutkan tujuan ke Malaysia hanya untuk liburan atau pelancong, dan dilarang menyebutkan tujuannya untuk kerja. Selain itu, mereka juga mengetahui jika ada beberapa rekannya yang identitasnya diubah.
"Kami pun akhirnya diberangkatkan menuju Batam pada tanggal 23 September, tapi saat itu hanya berempat," katanya.
Namun, setibanya di Batam dengan berbagai alasan dari pihak agensi yang menangani mereka di sana, ternyata VA dan NZ dipisah saat berangkat menuju Malaysia dengan menggunakan kapal. Sejak itu keduanya tidak bertemu lagi serta tak bisa berkomunikasi karena ponsel dan seluruh identitas yang dimiliki disita pihak agensi.
VA menambahkan, saat di Malaysia mereka diperkerjakan layaknya Asisten Rumah Tangga (ART) dan beberapa kali pindah lokasi kerja, bahkan mereka kerap mengalami siksaan dari pihak majikan maupun agensi yang berada di sana. Selain itu, mereka juga tidak menerima upah.
ADVERTISEMENT
"Saya dengan segala upaya dan pertolongan akhirnya bisa kabur dan kembali bertemu keluarga di Batam pada 13 Oktober. Sementara sepupu saya (NZ) baru diselamatkan dibantu dengan ormas Pemuda Pancasila hingga akhirnya dapat kembali ke Palembang pada 5 November," katanya.
Selain itu pun, pihak kerabat keuarga keduanya juga sudah melaporkan peristiwa yang dilami mereka ke Polda Sumatera Selatan dan Polda Jawa Timur. (jrs)