Kisah Wirawan, Dalang Palembang yang Seorang Diri Jaga Warisan Budaya

Konten Media Partner
19 Juni 2019 11:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kiagus Wirawan Rusdi yang merupakan satu-satunya dalang Wayang Palembang yang bertahan (foto: abp/Urban Id)
zoom-in-whitePerbesar
Kiagus Wirawan Rusdi yang merupakan satu-satunya dalang Wayang Palembang yang bertahan (foto: abp/Urban Id)
ADVERTISEMENT
Kesenian wayang kulit tidak hanya berada di Pulau Jawa, wayang yang merupakan warisan budaya nusantara ini ternyata juga ada di Palembang. Bahkan kesenian tersebut disebutkan sudah masuk ke "Kota Pempek" sejak abad ke-17 atau pada masa Kesultanan Palembang.
ADVERTISEMENT
Meski memiliki sejarah panjang, namun kesenian tersebut seolah semakin redup digusur zaman. Bahkan, kini hanya menyisakan satu grup wayang Palembang yang dikomandoi seorang dalang untuk yang setia menjaga warisan budaya tersebut.
Dalang Wayang Palembang, Kiagus Wirawan Rusdi (46), mengatakan tidak ada catatan sejarah secara tertulis yang menyebutkan kesenian wayang mulai masuk ke Palembang. Namun, berdasarkan keterangan dari pihak Museum Wayang di Jakarta, kesenian wayang ini mulai ada di Palembang sejak abad ke-17.
"Tapi mungkin pada saat itu kesenian wayang yang ditampilkan masih berupa adat Jawa, termasuk penggunaan bahasanya," katanya, Rabu (19/6).
Kemudian, kata Wirawan, karena dialeg yang digunakan tidak dimengerti oleh masyarakat yang ada di Palembang pada saat itu, maka kesenian ini kurang diminati. Hingga akhirnya dicarilah sejumlah orang Palembang yang mau belajar menjadi dalang, dengan polesan menggunakan dialeg lokal.
ADVERTISEMENT
"Hingga akhirnya kesenian ini terus berkembang dan dikenal sebagai kesenian wayang Palembang," tutur Wirawan.
Kiagus Wirawan Rusdi tetap menjaga sejumlah peninggalan wayang dari dalang-dalang sebelumnya (foto: abp/Urban Id)
Menurutnya, sebenarnya tidak ada perbedaan khusus kesenian wayang dari Palembang maupun Pulau Jawa. Baik dari tokoh pewayangan dan cerita yang digunakan, hingga pada alat musiknya. Sepeti tokoh Pandawa dan Kurawa dalam kisah Mahabrata, serta Rama dan Shinta dalam kisah Ramayana.
Meski begitu, lanjut Wirawan, tetap ada perbedaan di antara keduanya. Seperti warna yang digunakan lebih mengarah kekhasan Palembang, yakni kuning tembaga pada bagian tubuh, serta hijau merah untuk kainnya.
"Untuk iringan musik, meski tetap menggunakan gamelan tapi musiknya lebih bernuansa melayu. Kemudian cerita yang dihadirkan juga sudah ada yang berasal dari Palembang yang diturunkan dari dalang-dalang sebelumnya. Seperti Gatot Tetak Puset untuk mengisi acara akikah, dan Gatot Penganten untuk acara pernikahan," katanya.
ADVERTISEMENT
Wirawan yang merupakan keturunan ketiga sebagai dalang wayang Palembang ini mengatakan, sebelum kemerdekaan Indonesia, kesenian Wayang Palembang sempat 'mati suri'. Hingga akhirnya di sekitar tahun 1950, seorang petugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu datang ke Palembang untuk mencari sejumlah pemain maupun dalang wayang Palembang yang pernah ada.
Selanjutnya, sejumlah pecinta kesenian wayang Palembang pun saat itu kembali bergabung untuk menghidupkan lagi pentas seni tradisional yang sempat "mati suri" tersebut hingga terbentuklah grup Sri Wayang Kulit Palembang.
Saat itu, ada sejumlah nama dalang yang cukup dikenal dari Palembang. Yakni, Abdul Rohim, Abdul Agus, Abdul Hanan, serta Abdul Rasyid yang merupakan kakek dari Wirawan.
Ada sekitar 100 buah tokoh pewayangan yang masih tersimpan di sanggar wayang milik Wirawan (foto: abp/Urban Id)
Kemudian, memasuki tahun 80'an kesenian wayang Palembang ini terus menurun. Baik itu jumlah dalangnya, maupun anggota pentas khususnya penabuh alat musik semakin berkurang sampai dengan saat ini.
ADVERTISEMENT
Wirawan sendiri mulai menghidupkan kembali wayang Palembang pada tahun 2004, tepatnya sepeninggal sang ayah, Rusdi Rasyid yang merupakan dalang generasi kedua.
Beranggota sekitar 15 orang, Wirawan mulai berupaya menghidupkan kembali kesenian Palembang tersebut. Baginya, hal itu sebagai salah satu upaya untuk melestarikan peninggalan sejarah.
"Kebetulan, di tahun yang sama dapat bantuan dari UNESCO berupa 50 buah wayang, dan enam gamelan. UNESCO menganggap wayang Palembang merupakan warisan budaya tak benda. Dari sana, kesenian ini mulai dijalankan kembali," katanya.
Seiring berjalannya waktu, pelaku kesenian ini semakin ditinggalkan karena minimnya permintaan pagelaran, sehingga anggota grup wayang lebih memilih untuk mencari pekerjaan lainnya.
"Dalam satu tahun belum tentu satu kali ada pagelaran. Bahkan, paling banyak permintaan pentas itu hanya dua kali dalam setahun," katanya.
ADVERTISEMENT
Wirawan turut prihatin, pemerintah daerah kini tak pernah lagi melibatkan kesenian wayang Palembang dalam setiap kegiatan festival daerah. Baik itu tingkat daerah maupun provinsi. Kalau pun pernah, itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.
Tokoh wayang Pendito Budi Sejati yang merupakan peninggalan abad ke-17 (foto: abp/Urban Id)
"Saya sendiri terakhir kali menggelar pentas selama dua jam, pada 8 Desember 2018 lalu, saat itu ada undangan komunitas dari lembaga konservasi budaya Sumatera Selatan," katanya.
Di sanggar sederhana miliknya yang berlokasi Lorong Ceklatah, Kelurahan Tangga Buntung, Palembang ini, ada lebih dari 100 buah koleksi wayang yang dimiliki Wirawan. Namun, tidak seluruhnya yang masih bisa dimainkan karena faktor usia wayang yang sudah tua. Bahkan, ia masih menyimpan tokoh wayang yang berasal dari abad ke-17 yaitu tokoh Pendito Budi Sejati, dan Arjuno. Keduanya merupakan peninggalan dari nenek moyang terdahulu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga hadiah peninggalan ayahanda saat usai melakukan pentas di Istana Presiden, pada zaman Presiden Sueharto di tahun 1978. Di mana saat itu, ayahnya dihadiahi tokoh Petruk, Semar, Gareng, serta Gunungan Solo sebagai sebuah cendera mata.
"Karena memiliki nilai sejarah pewayangan Palembang, saya tetap menjaga wayang-wayang tersebut. Tidak ada niat sedikitpun untuk menjualnya. Meskipun, saat ini sudah jarang sekali diminta untuk pentas," katanya. (abp/jrs)
Kesenian Wayang Palembang yang kini sudah mulai ditinggalkan (foto: abp/Urban Id)