MTI Tolak Kebijakan Vaksin Booster Jadi Syarat Pengguna Transportasi Publik

Konten Media Partner
19 Juli 2022 8:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bambang Haryo Soekartono. (ist)
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Haryo Soekartono. (ist)
ADVERTISEMENT
Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Bambang Haryo Soekartono, mengkritisi kebijakan pemerintah yang mewajibkan syarat booster bagi para pengguna transportasi publik, sebagaimana merujuk SE Satgas COVID-19 nomor 21 dan 22 tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kebijakan tersebut sangat tidak tepat di tengah geliat pemulihan ekonomi nasional. Terlebih, pengguna transportasi publik massal di Indonesia jumlahnya masih minim bila dibandingkan dengan transportasi online dan pribadi.
"Persentase, pengguna transportasi publik massal hanya sekitar 12 persen dari total yang menggunakan transportasi publik tidak massal dan transportasi pribadi," katanya, Selasa (19/7).
Sehingga, bila diterapkan tidak akan berdampak terhadap kekebalan komunal (herd immunity). Bahkan dampaknya pada perpindahan dari transportasi publik beralih ke transportasi pribadi dan berdampak macet/traffic jam, serta peningkatan kecelakaan di jalan raya.
Mantan anggota DPR RI ini menjelaskan, dari sisi pemborosan, kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi bertambah dan seharusnya pemerintah paham dengan adanya masyarakat menggunakan transportasi pribadi, maka perpindahan/pergerakan masyarakat semakin sulit dipantau dan dikendalikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya, sebelum mengeluarkan kebijakan. Pemerintah perlu melakukan kajian dan penelitian, hal ini dapat dibuktikan bahwa booster bukan segala-galanya untuk mencegah COVID-19," katanya.
Hal itu terbukti di Indonesia yang mempunyai booster sampai dengan saat ini hanya 19 persen dari total penduduk 267 juta jiwa pertambahan kasus sampai dengan tanggal 12 Juli 2022 adalah 3.361 kasus per hari. Sedangkan di waktu yang sama, Taiwan yang sudah booster 73 persen dari total penduduk 23 juta terdapat tambahan kasus sebesar 28.972 kasus per hari.
"Singapura yang sudah booster 74 persen dari 5 juta jiwa penduduk saat ini ada tambahan kasus sebesar 5.974 kasus per hari," jelas Bambang.
Mantan Ketua Bidang Infrastruktur KADIN Pusat ini melanjutkan, di India yang booster baru 3 persen dari total penduduk 1,38 miliar jiwa pertambahan kasus per hari hanya 13.000 kasus, sedangkan Jerman yang sudah 69 persen booster dari total penduduk 83 juta jiwa, jumlah pertambahan kasus sebesar 127.000 per hari.
ADVERTISEMENT
"Demikian bila di Indonesia, DKI Jakarta vaksin satu dan dua mendekati 100 persen, booster sudah lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk 10,56 juta jiwa penambahan kasus sebesar 3.584 per hari, sedangkan Aceh dosis kedua masih 29 persen dan booster mendekati nol persen dari jumlah penduduk 5,27 juta jiwa pertambahan kasus nol," kata BHS.
Bambang bilang, hampir seluruh negara di dunia tidak membutuhkan lagi sertifikat vaksin sebagai persyaratan menggunakan transportasi publik massal dalam negeri. Sebagai contoh, di Jepang bahkan yang tidak vaksin bisa menggunakan transportasi publik dengan tidak ada diskriminasi antara masyarakat yang sudah vaksin maupun yang tidak vaksin. Di 2 negara, yakni Australia dan Jepang vaksin tidak menjadi kewajiban.
ADVERTISEMENT
"Saya yakin Menhub mengetahui itu karena baru satu bulan yang lalu berkunjung ke Jepang, termasuk saya sendiri. Ada lagi di Australia juga tidak menggunakan sertifikat vaksin untuk naik transportasi publik massal dan bahkan pemerintah Australia membebaskan turis masuk tanpa sertifikat vaksin," kata alumni ITS Surabaya ini.
Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra ini melanjutkan, jumlah negara yang menerapkan wajib vaksin hanya sedikit, yakni hanya 4 dari 195 negara. Yaitu; Indonesia, Ekuador, Tajikistan, dan Turkmenistan.
Bahkan di Jerman, sempat ada wacana akan diterapkannya wajib vaksin. Namun karena banyaknya masyarakat di sana yang kontra, alhasil wacana tersebut dibatalkan, pemerintah Jerman sangat mendengar keluhan masyarakatnya, berbeda dengan di Indonesia.
Maka dari itu penerapan penggunaan sertifikat booster yang akan diterapkan pada transportasi publik massal oleh pemerintah pada tanggal 17 Juli 2022, bisa menghancurkan transportasi publik massal dan ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Seyogyanya kebijakan persyaratan booster di transportasi publik dicabut. Karena kita butuh transportasi publik massal darat, laut, dan udara yang kuat untuk mengantisipasi negara kepulauan yang mempunyai jumlah penduduk yang besar," katanya.
Sebaliknya, pemerintah seharusnya tidak menambahkan beban lagi kepada masyarakat dan pelaku usaha transportasi yang baru membangun ekonominya dari kehancuran akibat kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan aturan COVID-19.