UU Perpajakan Baru, Semua Orang Kena Pajak?

Konten Media Partner
2 November 2021 17:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pajak. (foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak. (foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Oleh : Hasbi Jusuma Leo, S.E.
Beredar informasi, setiap warga negara otomatis menjadi wajib pajak dengan berlakunya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
ADVERTISEMENT
Pasalnya, Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP akan serta merta menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan berlakunya undang-undang ini. Kabarnya, setiap orang nanti wajib membayar pajak penghasilan berapapun penghasilannya.
Hasbi Jusuma Leo, S.E.
Nyatanya informasi itu tidak benar. Integrasi NIK dengan sistem administrasi perpajakan itu bertujuan untuk mempermudah wajib pajak orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya.
Tapi itu tidak berarti semua orang serta merta wajib membayar pajak. Pajak baru dikenakan bila orang pribadi itu memiliki penghasilan setahun di atas batasan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Atau memiliki peredaran bruto diatas Rp500 juta per tahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0,5%.
Hal itu diungkap Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, pada acara Leader Talk UU HPP secara online pada Selasa (19/10/2021) lalu.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan semangat UU Cipta Kerja, UU HPP ini juga menetapkan besaran sanksi yang lebih kecil pada saat pemeriksaan daripada yang diatur UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP).
Misalnya untuk sanksi upaya hukum keberatan, jika pengadilan menguatkan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka UU HPP mengenakan tarif 30%. Lebih kecil dari sanksi UU KUP yang mengenakan 60%. Upaya banding dan peninjauan kembali masing-masing 60%, lebih kecil dari UU KUP yang mengenakan denda 100%.
UU HPP ini mengubah dan menambah beberapa ketentuan terkait perpajakan. Antara lain; mengubah ketentuan umum dan tata cara perpajakan, mengubah ketentuan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan cukai. Serta menambah subjek pajak karbon dan Program Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure Program).
ADVERTISEMENT
Beberapa ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berbeda di UU HPP ini. Di antaranya terkait kuasa wajib pajak. UU ini mengatur siapapun dapat menjadi kuasa wajib pajak. Asal memenuhi persyaratan kompetensi menguasai bidang perpajakan. Dengan catatan, kuasa wajib pajak itu bukan merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda dua derajat.
Dalam undang-undang ini, penegakan hukum pidana pajak mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara. Wajib pajak terpidana diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pendapatan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi. Dengan membayar pajak terutang dan dendanya, wajib pajak mendapat pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara.
Aktivitas dan transaksi ekonomi berkembang semakin dinamis. Terutama yang melibatkan perangkat dan sistem elektronik. Oleh karena itu, dalam UU HPP ini pemerintah dapat menetapkan penyedia sarana transaksi elektronik sebagai pemungut pajak.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, proses pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif dan efisien sesuai perkembangan zaman. Bahkan untuk pemungutan di luar negeri, pemerintah dapat meminta bantuan penagihan aktif kepada negara mitra. Bantuan penagihan ini dilakukan secara timbal balik antar negara.
Pemerintah negara lain juga dapat meminta hal yang sama. Hal ini menjadikan Indonesia berperan aktif dalam kerjasama perpajakan global. Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, UU HPP memperkenalkan Program Pengungkapan Sukarela.
Dengan program ini, wajib pajak dapat melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Baik itu pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) maupun pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2020.
ADVERTISEMENT
Program ini akan dilaksanakan selama enam bulan. Yakni dari tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Pemerintah juga dapat memanfaatkan instrumen fiskal ini dalam pengendalian iklim. Yakni dengan pengenaan pajak karbon yang diatur dalam UU HPP ini.
Implementasi pajak karbon ini akan dilakukan secara bertahap. Dengan memerhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target nationally determined contribution (NDC), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
Pengenaannya mempertimbangkan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memerhatikan iklim usaha, dan masyarakat kecil. Tarifnya sendiri ditetapkan lebih tinggi atau paling tidak sama dengan harga karbon di pasar karbon. Tarif minimalnya Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Melalui pajak karbon ini, pemerintah berharap mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu penggerak pertama pajak karbon di dunia.
ADVERTISEMENT
Semoga dengan berlakunya UU HPP ini sistem perpajakan kita semakin baik. Sehingga semakin siap menghadapi tantangan ekonomi saat ini dan di masa yang akan datang. Serta menjadikan pajak sebagai instrumen fiskal yang mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Artikel ini merupakan bentuk opini dari Hasbi Jusuma Leo, S.E. Analis Perbendaharaan Negara pada Kanwil DJPb Provinsi Sumatera Selatan.