Normalisasi Pelecehan Seksual yang Dianggap 'Biasa' di Lingkungan Pendidikan

Laras Nadiananda Iswari
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
19 Januari 2022 14:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laras Nadiananda Iswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus seakan tidak akan pernah usai, bahkan selalu menjadi momok menakutkan bagi para mahasiswa. Salah satunya adalah kasus yang terjadi pada salah satu mahasiswa Universitas Riau.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari kebutuhannya untuk mendapatkan bimbingan skripsi oleh dosen yang bersangkutan justru membuat korban mengalami pelecehan seksual yang memuakkan dan membekas seumur hidupnya.
Menurut pengakuan korban melalui Instagram TV @Komahi_UR, pada hari Rabu, 27 Oktober 2021, korban menemui Syafri Harto (pelaku) untuk melakukan bimbingan proposal skripsi. Bimbingan skripsi dilakukan di ruangan dekan dan diawali dengan beberapa pertanyaan merujuk kepada kepribadian korban.
Hingga akhirnya, korban mengaku bahwa pelaku sempat beberapa kali mengucapkan kata “I love you” yang membuat korban sangat terkejut dan tidak nyaman. Ketika bimbingan skripsi telah selesai dilakukan dan korban bermaksud untuk meninggalkan ruangan, korban menunduk untuk menyalami tangan pelaku, namun pelaku justru langsung memegang kedua pundak korban, memegang kepalanya, mencium pipi kiri dan kening, kemudian berkata “Mana bibir? Mana bibir?” yang membuat korban merasa sangat hina dan ketakutan. Korban langsung mendorong pelaku dan pergi meninggalkan pelaku.
Sumber: Instagram TV akun @Komahi_UR
Hal yang sangat disayangkan dalam kasus ini adalah tidak adanya pembelaan bagi korban dari pihak kampus. Hal ini dinyatakan oleh korban dalam Instagram TV yang menyebutkan bahwa korban sempat meminta bantuan dosen lainnya untuk menemui Ketua Jurusan dan meminta beliau agar menemaninya mengajukan penggantian dosen pembimbing. Namun, yang dilakukan dosen tersebut justru malah mengintimidasi korban untuk tidak membuka suara terkait kasus pelecehan seksual yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, dosen yang dimintai tolong ini justru tidak mengindahkan kasus pelecehan seksual yang dialami korban ketika keduanya menghadap Ketua Jurusan dan malah menyalahkan korban karena tidak membawa surat keterangan (SK) ketika melakukan bimbingan skripsi.
Dalam hal ini, dosen ini justru malah mempermasalahkan masalah administrasi dibandingkan kasus pelecehan seksual yang dialami korban. Tidak hanya itu, kasus korban bahkan dianggap remeh oleh keduanya, baik dosen yang dimintai bantuan dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
Kasus ini menunjukkan bagaimana minimnya kesadaran masyarakat akan pelecehan seksual, secara khusus kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Bukannya mendapatkan keadilan akan pengalaman pahit yang dialaminya, korban justru tidak diperbolehkan untuk membela diri (speak up) mengenai kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Korban disuruh untuk mengikhlaskan apa yang dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual dengan menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku hanyalah kekhilafan dan tidak memerlukan tindakan lebih lanjut dari pihak kampus. Hal ini menunjukkan bagaimana mirisnya penanganan terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Kasus ini juga didukung dengan pernyataan dari Aliansi Mahasiswa dalam Suara.com yang menyebutkan bahwa sebanyak 30 kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus lain dalam setahun terakhir, seperti Universitas Indonesia, di mana 11 kasus adalah kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Siber (KBGS), 11 lainnya merupakan pelecehan seksual, 4 kasus pemerkosaan, 2 kasus percobaan pemerkosaan, dan 2 kasus lainnya merupakan kasus perbudakan seksual.
Tidak hanya ketidakadilan yang didapatkan korban dalam kasus pelecehan seksual yang dialaminya, namun seringkali korban juga disalahkan atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Meskipun Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah ditetapkan, rasanya tidak membantu kasus-kasus pelecehan seksual yang tetap merajalela di lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan seringkali korban sulit untuk terbuka dan berbicara mengenai pelecehan seksual yang dialaminya, banyak pertimbangan dan risiko yang mungkin dapat ditimbulkan dari tindakan ini.
Seperti kasus-kasus pelecehan seksual yang sudah ada di lingkungan kampus dominan menyebutkan bahwa mahasiswa takut dirinya tidak lulus mata kuliah dosen yang bersangkutan atau bahkan mendapat kerugian materiil karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku dengan membuat aduan yang tidak ada dasarnya.
Munculnya budaya patriarki di masyarakat juga membuat minimnya penanganan yang dilakukan dari pihak kampus terhadap pelaku pelecehan seksual yang bersangkutan. Budaya patriarki ini terbentuk dalam istilah Rape Culture atau budaya menormalisasi kekerasan dan pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Budaya ini menyebutkan bahwa pemerkosaan, pelecehan, kekerasan seksual adalah hal yang lazim terjadi dan dinormalisasikan di masyarakat dengan alasan khilaf, sehingga masalah mengenai pelecehan seksual tidak lagi dianggap penting, tidak perlu memiliki pembahasan yang mendalam, bahkan dirasa tidak memerlukan tindakan lebih lanjut bagi pelaku dan korban.
Dari beberapa kasus di atas, dapat dilihat bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan yang berbahaya, namun juga dapat terjadi di lingkungan terdekat sekalipun. Sejak 3 September 2021, Permendikbud No. 30 Tahun 2021 mulai diberlakukan dengan tujuan mencegah dan menangani kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Hal ini merupakan tindakan progresif dari pemerintah yang peka terhadap maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus yang tidak hanya dapat terjadi pada dosen kepada mahasiswa, namun juga terjadi antar mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Dalam Permendikbud ini, tertera beberapa jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada para pelaku pelecehan seksual di lingkungan kampus, mulai dari sanksi administratif yang tercantum dalam pasal 10 Permendikbud tersebut.
Sanksi administratif ini dapat berupa teguran tertulis atau permohonan maaf yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Sanksi administratif ini juga dapat berupa pemberhentian sementara dari jabatannya tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa.
Pelaku kekerasan seksual juga wajib melakukan program konseling pada lembaga yang ditunjuk dan mendapatkan laporan konseling yang nantinya akan dijadikan dasar bagi pemimpin perguruan tinggi untuk menerbitkan surat bahwa pelaku pelecehan seksual tersebut telah mendapatkan dan melaksanakan sanksi.
Hal ini seharusnya disambut baik oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat menempuh pendidikan bagi para mahasiswa rasanya justru sangat tidak pantas jika digunakan untuk melakukan tindakan asusila yang tidak memanusiakan manusia.
Di samping itu, perlu adanya sosialisasi bagi para pemimpin perguruan tinggi dan dosen-dosen di internal kampus terkait perilaku pelecehan seksual yang ada. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus pelecehan seksual ini justru tidak dianggap penting bagi internal kampus itu sendiri, bahkan diremehkan dan dapat dijadikan bahan candaan, seperti yang terjadi dalam kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Riau.
Harapannya, melalui tindakan ini, masyarakat semakin sadar bahwa budaya menormalisasi kekerasan seksual bukanlah hal yang benar untuk dilakukan.