
Mungkin, mendengarkan jadi skill yang langka di dunia modern ini. Semua orang sibuk bicara dan berkomentar, alih-alih memperhatikan apa yang orang lain sampaikan. Seperti saat saya membagikan kegiatan saya memutar-mutar mallet (stik untuk mengetuk) singing bowl di taman pada laman media sosial. Saya pengin menunjukkan kalau sekarang saya sudah bisa memainkan singing bowl dengan merdu.
“Pantesan nggak hujan di sini…” begitu kalimat yang masuk ke kotak pesan sesaat setelah saya membagikan kegiatan saya itu. Pesan-pesan yang mampir selanjutnya bernada sama, membawa-bawa kata “hujan” dan “pawang”. Alih-alih mendengarkan nada dan alunan singing bowl yang saya mainkan, teman-teman saya malah fokus ke persoalan pawang.
Otak sadar saya maklum, sih, dengan fenomena ini. Setelah heboh pawang hujan di MotoGP Mandalika yang lalu, singing bowl jadi identik dengan pawang hujan dan Mbak Rara. Bahkan kalau kita cari di lokapasar, kata kunci yang dipakai untuk mencari singing bowl pun bertambah. Tidak hanya Tibetan singing bowl, atau Himalayan singing bowl saja, kata “Mandalika” dan “pawang hujan” pun ikutan jadi kata kunci.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814